Mohon tunggu...
Heri Kurniawansyah
Heri Kurniawansyah Mohon Tunggu... Administrasi - Pemimpi

Traveling

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Ketika Nasi Padang Menjadi Korban Bullyan Politik

28 April 2019   13:16 Diperbarui: 28 April 2019   13:26 193
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber https://www.gumtree.sg 

Munculnya narasi irrasional pasca Pilpres menjadi stigma betapa lucunya praktek demokrasi di negeri ini, bahkan sampai nasi padang pun menjadi korban narasi tersebut. Kalimat-kalimat tersebut sangat menggelitik hati nurani, meskipun hanya sebatas bullyan kelucuan. Pasca real-count Pilpres di sejumlah daerah yang menunjukan ada paslon mengalami kekalahan telak di wilayah-wilayah tertentu, terdapat narasi yang lebih lucu lagi di sejumlah media seperti ini ; "meskipun Jokowi kalah di Aceh, Padang, dan NTB, Jokowi tetap akan membangun daerah tersebut".

Selain itu, muncul juga kalimat seperti ini ; "kalian tidak tahu berterimakasih, sudah dikunjungi beberapa kali, dikasih A, B, dan seterusnya, tapi masih saja fakir nikmat". Ini adalah contoh narasi auto-minus yang pernah ada dalam dinamika demokrasi kita. Inilah yang disebut cacat nalar yang nyata dalam demokrasi, bahkan menciderai demokrasi. Mungkin saja mereka pikir NTB, Sumatera Barat, dan Aceh tidak bayar pajak untuk negeri ini. Yah kecuali NTB, Aceh, dan Padang merupakan bagian dari Malaysia, ya tidak perlu dibangun, sesimpel itu kita berpikir.

Jika prinsip itu yang ditanamkan kepada publik, sebaiknya sekalian tidak perlu ada pemilu, dan sebaiknya biarlah yang menang tersebut menjadi presiden seumur hidup, karena jika ingin dikontestasikan kembali melalui adanya pemilu, akan ada yang mengatakan "tak tahu terimakasih, boikot nasi padang, dan lain lain". Ini namanya narasi partisan, oleh karena rasionalitas itu sudah tidak tersisa lagi

Dalam teori demokrasi politik karya ilmuan sekelas Robert Dahl (1973) dengan jelas menyebutkan bahwa poliarki (demokrasi) itu adalah tentang sikap tanggap pemimpin (pemerintah) secara terus menerus tentang prefensi atau keinginan warga negaranya, tanpa melihat kembali dimensi teoritik tentang seberapa tinggi kontestasi, oposisi, maupun seberapa banyak warga negaranya yang memperoleh kesempatan berpartisipasi dalam kompetisi politik itu.

Secara sederhana, interpretasi teori Dahl dalam domain proses politik adalah tentang mengkontestasikan yang berbeda, ketika sudah terpilih, maka lepaskanlah pernak pernik politik itu, karena yang menang akan menjadi presiden republik Indonesia, bukan menjadi presiden setengah rakyat Indonesia.

Bukankah eksistensi dan esensi pemilu itu sendiri adalah tentang pergantian kekuasaan lima tahunan, perihal menang kalah itu adalah urusan proses demokrasi yang kita jalani, dan apapun hasilnya itulah konsensus demokrasi yang harus kita terima dengan lapang dada, tidak ada urusannya sama sekali dengan berterimakasih atau tidak. Berbeda pilihan itu bukan suatu kejahatan. Jika tidak mau ada perbedaan, ya jangan adakan pemilu.

Selera baju kita saja berbeda, bahkan pasangan suami istri yang sudah lama hidup bersama sering ribut kok hanya gara-gara selera sayur asamnya berbeda, apalagi selera pemimpin, itu manusiawi dan biasa saja. Please, mari menghargai pilihan yang berbeda. Demokrasi itu tentang kebebasan memilih sesuai dengan hati nurani, karena itulah nalar demokrasi. Masalah perbedaan, itu hanya sebuah keniscayaan dalam proses kontestasi politik, begitulah filosofi demokrasi.

Siapapun yang akan menang dalam kontestasi pemilu, eksistensi dia adalah sebagai kepala negara sekaligus sebagai kepala pemerintahan, oleh karena itu sudah menjadi "tugas dan tanggung jawabnya" sebagai pemerintah untuk mengurus rakyatnya dimanapun dan kapanpun sesuai dengan amanat konstitusi.

"Mau boikot nasi padang? Awas Nanti diklaim sama negara tetangga loh. Bagi mereka yang berstatus Perantau, berterimakasih lah pada nasi padang, karena nasi padang ada dimana-mana, dan alhamdulilah harganya sangat terjangkau versi mahasiswa. Kalau kalian paksakan mencari "Singang atau Sepat (makanan khas Sumbawa-NTB)" dirantauan, dipastikan akan sulit kalian temui, kecuali kalau kalian mau buat sendiri.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun