Mohon tunggu...
Heri
Heri Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa

Heri Merupakan mahasiswa

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Reformasi Pendidikan, Menuju Pendidikan dan Pengajaran yang Inklusi

16 Juni 2020   08:41 Diperbarui: 16 Juni 2020   08:49 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

"Ki Hajar Dewantara mendefinisikan Pendidikan merupakan sebuah upaya yang bertujuan untuk memajukan budi pekerti, pikiran serta jasmani anak, Pendidikan juga diartikan sebagai sarana menuju kesempurnaan hidup dan menghidupkan anak agar selaras dengan perkembangan alam dan masyarakatnya. Pendidikan juga semestinya menjadi hak setiap individu tanpa terkecuali karena Pendidikan sendiri merupakan hak dasar yang dimiliki individu yang mestinya dijamin oleh negara, sesuai amanat konstitusi bahwa Pendidikan bertujuan mencerdasakan kehidupan bangsa yang prosesnya harus sesuai dengan UUD 1945 Pasal 31 Ayat 1 bahwa "setiap warga negara berhak mendapat penididikan". 

Selain itu berdasarkan UU No. 20 Tahun 2003 tentang sistem Pendidikan Nasional bahwa Pendidikan nasional harus memperhatikan pinsip-prinsip dasar bahwa Pendidikan harus diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai religiusitas, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa dengan satu kesatuan yang sistemik dengan sistem yang terbuka juga multimakna. Belandaskan penjelasan UU diatas maka  Pendidikan mestinya terbuka dan ramah terhadap masyarakat penyandang kebutuhan khusus (disabilitas).

Disabilitas atau yang selanjutnya penulis sebut sebagai difabel menurut UU No. 4 Tahun 1997, Disabilitas atau Difabel adalah mereka yang memiliki keterbatasan atau cacat secara fisik, mental dan/atau gabungan atas keduanya. Dewasa ini term mengenai kata disabilitas ternyata mengalami perkembangan kepada arah yang lebih baik dengan merubah term Dis Ability menjadi Difabel atau (Di Ferentd) yang tentunya mempengaruhi bagaimana akhirnya masyarakat mengartikan kedua kata tersebut.

Status Quo hari ini pendidikan cenderung sangat Eksklusif terhadap sebagian masyarakat indonesia seperti Kelas Menengah Kebawah, Perempuan dan Difabel. Yang sebagai mana diatas telah penulis uraikan bahwa seharusnya Pendidikan berlaku atau dapat diakses oleh siapapun, pada tulisan ini penulis akan mencoba mengglorifikasi bahwa akses Pendidikan terjadi ketimpangan anatara ABK (Anak Berkebutuhan Khusus) dan No- ABK. 

Hal tersebut ditengarai karena belum mampunya pemerintah dan institusi Pendidikan berperan atau memberikan institusi Pendidikan yang inklusif, tujuan tersebut tekendala oleh minimnya anggaran dalam menyedikan institusi Pendidikan inklusi yang mana perlu disokong oleh sarana dan prasarana baik fisik maupun non fisik seperti ketersediaan Tenaga Pengajar yang memiliki kapasitas sebagai pengajar inklusi, ketidak ketersedian GPK menjadi hal yang sangat genting dalam status quo hari ini, karena sebagai mana kita ketahui bahwa acapkali institusi pendidikan hari ini menghadapi kesulitan dalam memperlakukan ABK dan Non-ABK dalam satu atap Pendidikan yang sama.

Pendidikan bagi difabel bukan tidak disediakan oleh negara, negara menggagas Pendidikan luar Biasa bagi para difabel. Namun, keberadaan Sekolah Luar Biasa (SLB) bukan lagi menjadi pilihan yang tepat bagi para difabel karena dengan dipisahkanya ABK dan Non-ABK semakin mempertajam ketimpangan dan Segregasi diantara keduanya.

Selain itu hal ini diperkuat dengan data bahwa lebih dari 59,8% anak berkebutuhan khusus tidak lulus SD, dan 40,2% dari mereka lulus sekolah. Dari 40.2% ABK yang terkategori mengenyam Pendidikan 70.52% diantara mereka hanya lulusan SD, 16,28% mereka mengenyam dan lulus dari SLTP, SLTA 11,60%, D1/D2 0,05% dan D3 hingga Sarjana Muda sebesar 0,57%, S2/S3 0,04% dan mereka yang dinyatakan lulus sebagai sarjana adalah sarjana satu 0,95% menurut data yang dilansir WHO pada tahun 2012. Hal ini menunjukan bahwa ternyata partisipasi Pendidikan ABK masih sangat kecil

Oleh karena itu penulis menawarkan solusi untuk mereformasi institusi Pendidikan tinggi yang menyelenggarakan program penyediaan tenaga pendidik agar mengeluarkan lulusan yang memiliki kapasitas sebagai pendidik inklusi, yang menjadi kebutuhan utama Pendidikan inklusi di Indonesia.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun