Dimana pun, di provinsi manapun, di kota manapun, bahkan di negara manapun, potensi konflik bisa saja sewaktu-waktu terjadi. Di Jakarta, di Indonesia atau di tempat lain, pasti punya pengalaman terjadinya konflik. Di Indonesia dulu pernah terjadi pemberontakan DI / TII. Lalu juga pernah terjadi kerusuhan Poso dan Ambon. Di Papua, juga sering terjadi konflik antar suku. Namun, di Indonesia juga punya mekanisme untuk mendamaikan konflik. Amarah yang sempat muncul bisa mereda, jika solusinya tepat. Dan salah satu upaya untuk bisa meredakan konflik adalah dengan bersikap netral, tanpa harus berpihak atau menyatakan yang satu benar yang lain salah.
Dalam wilayah yang lebih kecil, konflik juga bisa terjadi secara personal. Antara tetangga satu dengan tetangga lainnya, dengan teman kerja, teman bermain, bahkan antara orang tua dan anak juga bisa terlibat konflik. Untuk bisa mendamaikan antar personal tersebut, terkadang juga membutuhkan pihak ketiga, yang dianggal netral yang bisa menjembatani. Dan praktek ini wajar terjadi.
Mari kita lihat konflik yang lebih luas. Ketika memasuki tahun poliltik, potensi konflik di Indonesia bisa saja terjadi. Para simpatisan pasangan calon, bisa saling menjatuhkan, mencari kejelekan paslon lain, bahkan tidak jarang menebar hoaks dan provokasi, untuk tidak memilih dengan timbalan uang. Konflik personal ini bisa menjadi konflik massal, jika masyarakatnya tidak membekali diri dengan literasi yang kuat.
Mari kita introspeksi sejenak. Banyak negara-negara lain yang hingga saat ini masih saja terus berkonflik. Sebagai negara yang menganut politik bebas aktif, seringkal Indonesia menjadi inisiator untuk mendamaikan, tanpa harus memihak pihak-pihak tertentu. Dulu ketika terjadi konflik di Myanmar, Indonesia juga ikut berperan aktif mendorong terjadinya perdamaian di negeri tersebut. Begitu juga dengan Palestina yang terus mendapatkan serangan dari Israel. Konflik keduanya pun sudah terjadi berpuluh tahun yang lalu. Berbagai negara juga telah mendorong agar terwujud perdamaian. Namun, hingga saat ini perseteruan di kedua negara tersebut masih terjadi hingga saat ini.
Isu Palestina ini memang menjadi isu yang sangat penting buat masyarakat Indonesia. Mungkin karena mayoritas masyarakat Indonesia muslim, punya kedekatan emosional dengan masyarakat Palestina yang kebetulan juga muslim. Lalu, bagaimana kita bisa bersikap netral dalam persoalan Palestina dan Israel? Dalam prakteknya tentu akan sulit, karena kita sudah terlanjut bercampur dengan amarah. Namun, logika sederhana, ketika amarah masih ada dalam diri, maka kita tidak akan bisa melihat persoalan secara utuh dan obyektif.
Solidaritas terhadap Palestina memang tidak bisa dibendung. Tidak hanya di Indonesia, tapi juga di berbagai negara lain. Namun, solidaritas yang terbangun juga harus didasarkan pada logika sederhana diatas. Jika kita masih dilandasi amarah, tidak menutup kemungkinan solidaritas yang terbangun hanyalah karena sepihak saja. Jika ada pihak-pihak yang memanfaatkan untuk kepentingan lain, yang mengatasnamakan solidaritas Palestina, tentu kita tidak akan bisa melihatnya.
Mungkin kita bisa belajar dari Gus Dur dalam menyikapi soal Palestina. Perdamaian tidak akan terwujud jika tidak disertai dengan adanya keadilan. Dan keadilan yang dimaksud adalah adil sejak dalam pikiran, yang tidak memihak satu pihak. Lalu, apakah kita harus mengakomodir kepentingan Israel? Dalam konteks dialog untuk pendapatkan keadilan, mungkin perlu dilakukan. Karena keadilan bisa terwujud, jika kepentingan kedua belah pihak bisa diakomodir. Jika dialog tidak ada, dan keduanya masih bersikeras dengan pandangannya masing-masing, perdamaian akan sulit tercipta. Â Salam perdamaian, karena damai itu indah.