Mohon tunggu...
Herry Gunawan
Herry Gunawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - seorang pemuda yang peduli

Saya seorang yang gemar fotografi dan travelling

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Merajut Pluralisme Jangan Hanya Sebatas Slogan

19 Oktober 2018   06:54 Diperbarui: 19 Oktober 2018   08:38 373
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Keberagaman - http://sp.beritasatu.com

Sebentar lagi, Indonesia akan segera melakukan pemilihan presiden, wakil presiden dan legislative. Siapapun yang terpilih dalam pesta demokrasi tersebut, harus menjalankan amanah yang telah diberikan rakyat kepada dirinya. Sebelum berharap mereka terpilih, mereka seharusnya bisa membuktikan bahwa dirinya merupakan pemimpin yang tepat, pemimpin yang mengerti penderitaan rakyat, dan pemimpin yang jujur dan bertanggungjawab.

Memang tidak sepenuhnya para elit politik yang bertarung dalam perhelatan politik ini, bisa menjadi pemimpin yang ideal. Namun mereka harus menjadi pemimpin untuk semua, karena itulah mereka pun harus selalu mengedepankan semangat pluralism.

Indonesia adalah negara yang kaya akan keanekaragaman suku, budaya dan adat istiadat. Keragaman itu merupakan anugerah yang diberikan Tuhan kepada kita semua.

Sayangnya, seiring berjalannya waktu, muncul kelompok intoleran yang terus mengganggu budaya lokal dan berusaha mengklaim dirinya yang paling benar.

Pekan kemarin, 13 Oktober 2018, terjadi tindakan tidak terpuji yang dilakukan oleh sekelompok orang bercadar. Mereka mendatangi acara sedekah laut, yang dilakukan oleh masyarakat lokal di Pantai Baru, Bantul. Aktifitas sedekah laut dinilai bertentangan dengan agama. Sementara tradisi tersebut sudah dilakukan secara turun temurun.

Mari kita flashback sebentar. Ketika Wali Songo masuk ke tanah Jawa, tradisi lokal masyarakat ketika itu begitu kuat. Salah satunya adalah selamaten, sebuah ritual adat yang dilakukan sebagai bentuk syukur kepada Allah SWT. Selamentan ini dilakukan dengan cara mengundang saudara atau tetangga, disertai membaca doa dan diakhiri dengan membagi tumpeng yang telah disediakan. Ketika Wali Songo masuk ke tanah Jawa, tidak melarang tradisi ini dan kemudian berkembang menjadi tahlilan, yang masih dilakukan hingga saat ini.

Begitu juga dengan tradisi sedekah laut. Jika memang ada yang salah dalam tradisi tersebut, semestinya dilakukan dialog dan tidak langsung dilakukan tindakan mengobrak-abrik kursi sambil berteriak takbir. Indonesia dan Islam mengenal tradisi musyawarah.

Indonesia dan Islam juga mengenal budaya hidup rukun dalam keberagaman. Jika takbir diteriakan hanya untuk merusak tatanan sosial yang ada, sungguh sangat disayangkan. Karena Rasulullah SAW pun tidak pernah mencontohkan perbuatan saling menyakiti. Bahkan Islam menganjurkan kepada seluruh pemeluknya untuk saling mengenal satu sama lainnya.

Dalam momentum pilpres dan pileg ini, semangat pluralism harus tetap dijaga. Pemimpin yang lahir pun juga harus menjaga dan tetap melestarikan tradisi lokal. Merajut persaudaraan dan pluralism, harus diimplementasikan oleh semua pihak, termasuk para pihak yang bertarung dalam perhelatan politik ini.

Stop saling membenci dan hentikan aksi persekusi. Kedepankan semangat persuasi juga harus dikedepankan, agar kerukunan yang ada di negeri ini tetap terjaga. Pluralisme juga jangan dijadikan jargon untuk mendulang elektabilitas. Tidak sedikit kelompok intoleran yang merapat ke elit politik untuk melakuan deal-deal tertentu. Apa akibatnya? Politik identitas menguat dan kerukunan antar umat beragama yang akan menjadi korbannya. Semoga kita semakin bijak di tahun politik ini.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun