"Nikmati saja masa-masa single hingga puas."
Iya, itulah pesan ibu saya. Menurut beliau, nanti pada masanya, saat berumahtangga, kita takkan merasa kehilangan masa muda.
Bukan rahasia lagi, masyarakat di tanah air terlalu peduli dengan kehidupan orang lain. Saat menyelesaikan kuliah dulu, usia saya awal duapuluh tahun.
Pertanyaan "kapan nikah", atau "tunggu apalagi" dan sejenisnya, sudah bertebaran dari mulut orang lain. Benar, bukan dari mulut orang tua dan saudara kandung saya.
Terus terang, saya tak punya keinginan menikah di usia belia. Belia itu, menurut saya, di bawah pertengahan duapuluh.
Komentar-komentar masyarakat di sekitar kita terkadang menyakitkan. Sepertinya kehidupan seorang insan harus sesuai cetakan yang sudah dibentuk sebagian masyarakat. Selesai sekolah harus menikah, punya anak, dan seterusnya.
Jika ada yang ingin menjalani kehidupan berbeda dari pola yang mereka buat, dianggap melawan kodrat. Padahal kebahagiaan seseorang itu tidak berjalan dengan alur yang seragam.
Ada untungnya saya waktu bekerja dulu tinggal di ibu kota. Â Masyarakatnya sudah lebih biasa melihat orang yang memutuskan untuk menikah lambat atau tidak sama sekali.Â
Memang rencana saya selesai kuliah adalah bekerja. Beruntungnya lagi, saya mendapatkan pekerjaan yang saya sukai dengan lingkungan pekerjaan dan hubungan menyenangkan dengan sesama rekan kerja.
Nasihat ibu saya itu seperti menguatkan keputusan yang saya ambil. Saya sangat menikmati pekerjaan yang memungkinkan saya melakukan perjalanan mengunjungi beberapa tempat dan negara lain tanpa ada keberatan dari siapa-siapa.