Kecopetan
Pengalaman kecopetan, terjadi di Beijing, dua kali kecopetan. Di negeri yang aman seperti Tiongkok ini, copet juga selalu siap sedia mencari mangsanya.
Kali pertama ketika saya sedang berbelanja ke pasar tradisional, sendirian, menumpang shuttle bus yang disediakan pengelola gedung. Memang satu kali itu saya pergi sendiri, padahal biasanya bertiga dengan dua teman Chinese yang tinggal di satu gedung apartemen.Â
Mungkin saya yang teledor, dan si pencopet tau bahwa saya bukan warga lokal. Dari cara saya bicara seadanya menanyakan harga barang-barang yang dijual, anak kecil juga mengerti tingkat bahasa Mandarin saya.
Saat saya akan membayar sayuran yang saya beli, ternyata tas belanjaan saya sudah sobek rapi dari atas ke bawah, kena sayatan pisau yang sangat tajam.
Dompet saya di tas belanjaan telah raib. Tapi (untungnya) saya masih punya duit untuk membayar sayuran.
Saat itu saya hanya membawa dompet untuk belanja, dan uangnya hanya sedikit, kurang dari 100 Yuan (1 Yuan sekitar Rp 2.000). Kebiasaan saya sering menyimpan duit dipisah-pisah, sebagian di kantong baju, sebagian di selipan bagian dalam tas.
Kecopetan kedua yang hilang adalah gawai. Saat itu saya dan anak saya sedang mengantri untuk memesan makanan cepat saji. Â Musim dingin yang menggigit di Beijing, saya mengenakan mantel dengan kantong besar di sisi kiri kanannya.
Sambil menunggu antrian, saya melihat pesan yang barusan dikirimkan suami saya, yang kebetulan sedang berada di luar kota. Gawai saya letakkan lagi di dalam kantong, saya akan telpon suami saat duduk nanti.
Ketika akan menelpon suami, saya tidak menemukan ponsel di kantong mantel. Saya tanyakan anak saya, biasanya dia selalu memperhatikan. Menurutnya ada di kantong mantel saya.
Mungkin kantongnya bolong, saya periksa. Ah, tidak ternyata. Gawai saya lenyap tak berbekas. Pasti hilang ketika mengantri tadi. Saya mencurigai pria di samping tadi, yang berdiri mepet.