Mohon tunggu...
Hennie Engglina
Hennie Engglina Mohon Tunggu... Freelancer - Pelajar Hidup

HEP

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Refleksi Kehidupan dari Asa Kremasi

21 Juni 2020   18:24 Diperbarui: 22 Juni 2020   21:45 327
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi (Sumber: jooinn.com)

Pengennya saat saya mati, jasad saya dikremasi. Inginnya begitu. Saking seriusnya, saya pernah berselancar di Google ngecek biaya kremasi. Haiya!

Mengapa? Supaya orang tidak perlu datang ke kubur saya. Lagi, mengapa? Karena saya tidak ada di situ, kecuali tulang tubuh saya yang tidak berfungsi apa-apa lagi.

Untuk riset ilmu pengetahuan Arkeologi, misalnya, dan bla bla bla? 'Kan masih banyak tulang manusia lainnya dan jejak kehidupan yang menyampaikan sejarahnya masing-masing.

Saya tidak komplein terhadap aktivitas berziarah ke makam, tetapi ketika saya membayangkan itu diberlakukan untuk saya yang sudah mati, saya merasa aneh saja. Pengen bilang ke yang ziarah, kamu ngapain ke situ?

Bukan "ke sini", tetapi "ke situ", karena saya tidak ada di situ. Ceritanya, saya bicara itu dari tempat di mana saya berada, yakni tempat yang disediakan Sang Pencipta bagi orang-orang yang telah lebih dahulu meninggal dan bersama yang masih hidup menantikan Hari Penghakiman-Nya di akhir kehidupan dunia.

"Akan tetapi, itu 'kan penanda pernah ada?" Kata sahabatku saat kami berbincang santai perihal "bodoh" ini. Kata "bodoh" itu dari dia, karena katanya, seharusnya kita bicara tentang kehidupan, bukan kematian.

Exactly!  Ketika kita bicara kematian, sesungguhnya kita bicara tentang kehidupan, sebab dalam kehidupanlah hal kematian itu dibicarakan dan ada gunanya untuk dibicarakan. Lagi pula, siapa juga yang masih ngobrol di sana?

Pada saat saya bicara tentang kematian saya, pada saat itu, yang ada di pikiran saya adalah bukan apa yang berguna yang sudah saya lakukan, tetapi sebaliknya, pikiran saya mengingat jejak hidup saya yang tidak berguna!

Bicara kematian justru makin menginsafkan diri akan betapa berharganya hidup ini! Dan, kalau makam dipandang sebagai jejak saya pernah ada di dunia, menurut saya, kuburan bukan tempatnya.

Kalau kamu ke kuburan saya, kamu hanya akan bertemu gundukan tanah berbungkus rumput dan nisan batu bertulis nama saya, kataku kepadanya. Maka, jika kamu bicara jejak saya, jangan ke kubur saya, tetapi ke Kompasiana, misalnya, kamu akan menemukan saya di situ. Walau saya tidak ada lagi, saya ada di situ.

Oleh sebab itu, saya pernah menulis di profil saya di sini: "Untuk yang ada dan yang belum ada". Maksudnya, apa yang saya tulis di sini tidak hanya untuk pembaca yang ada saat ini ketika saya masih ada, tetapi juga untuk yang belum ada saat ini yang ketika mereka ada kelak dan membaca tulisan-tulisan saya di sini, pada saat itu mungkin saya tidak ada lagi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun