Ada seorang gadis buta. Ia hidup sebatang kara. Gadis itu memiliki seorang kekasih yang pengasih. Dialah satu-satunya orang yang selalu ada untuk gadis itu.
Setiap hari gadis itu mengeluh akan kebutaannya. Kepada kekasihnya, ia berkata, bahwa ia ingin bisa melihat dunia dan ingin segera menikah dengan kekasihnya bila ia sudah bisa melihat.
Pucuk di cinta ulam tiba. Suatu hari seseorang menyumbangkan sepasang mata kepada gadis itu. Ia dapat melihat semuanya, termasuk kekasihnya.
"Sekarang kamu bisa melihat dunia," kata kekasihnya dengan raut wajah bahagia.
Gadis itu memandang laki-laki yang selama itu setia ada untuknya. Ia terkejut. Ternyata kekasihnya juga buta.
"Maukah kamu menikah denganku?" kekasihnya bertanya. Gadis itu tidak menjawab.
Sejak itu, gadis itu sulit ditemui. Namun, lelaki itu tetap setia mendatangi rumah gadis itu seperti ketika gadis itu masih buta.
Hingga suatu hari, saat gadis itu pulang, ia melihat secarik kertas di atas meja di teras rumahnya. Barisan huruf tak rapi dan tak lurus tertulis di situ: "Sayang, aku pamit. Rawat mataku, ya."
***
Terkadang, keadaan berubah, pikiran pun berubah, sikap pun ikut berubah.Â
"Jangan meninggalkan sejarah" -Â Sukarno.