Mohon tunggu...
Hendy Adinata
Hendy Adinata Mohon Tunggu... Freelancer - Sukanya makan sea food

Badai memang menyukai negeri di mana orang menabur angin | Email: hendychewadinata@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Cintai dan Hargai Alam dengan Tidak Buang Sampah Sembarangan

14 Februari 2020   14:51 Diperbarui: 14 Februari 2020   15:00 4260
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: dprd-kaltimprov.go.id

Beberapa waktu lalu, penulis bersama rekan kerja sempat mampir di salah satu kedai di tepian sungai yang berlokasi di dekat jembatan Tayan, Kalimantan Barat. Di sana kami memesan menu makanan dan minuman sambil melepas lelah kami yang sudah lebih dari 2 jam berkendara. Saat melihat-lihat pemandangan sungai dan jembatan Tayan yang terlihat kecil di mata kami, salah satu pelayan di warung sebelah melempar kantong plastik yang isinya penuh sampah (bulat-bulat) ke sungai. Melihat pemandangan yang tak enak di mata itu, ada perasaan tersakiti dan ingin menegur. "Hancurlah ekosistem kita," begitu kata hati penulis. Teman-teman yang lain juga tampak tidak senang. Namun, sebagai pendatang, kami urungkan niat itu dan manikmati saja makan-minum yang telah kami pesan.

Di sela-sela makan siang kami pun beberapa kali pelayan itu membuang sampah ke sungai seperti tadi. Dari yang jenis plastik sampai buah kelapa (di sana banyak menjual es kelapa bulat) banyak dia lempar ke sungai. Pilu rasanya melihat pemandangan itu.

Potret masyarakat yang membuang sampah sembarangan banyak kita jumpai di kehidupan sehari-hari kita, mungkin pembaca juga salah satu pelakunya. Sampah besar memang tidak biasa, tapi sampah kecil seperti puntung rokok, bungkus permen, sobekan snack, botol minuman, dan tisu sudah sangat sering dan biasa kita lihat di jalanan. Mobil-mobil biasanya membuka kaca mobilnya dan melemparkan botol minuman, tisu, plastik yang isinya muntahan ke tepi jalanan, itu pemandangan setiap minggu ketika penulis berangkat ke luar kota. Contoh lainnya, di atas perahu nelayan pencari ikan, ketika seseorang telah selesai melahap nasi bungkusnya, bungkusan itu dibuang begitu saja ke air (penulis salah satu pelakunya). Maafkan.

Mengapa buang sampah sembarangan ini terus terjadi? Penulis melihat setidaknya 3 poin penting, yaitu:

1. Buang sampah sembarangan itu hal wajar dan efisien

Anggapan wajah ini ada karena kita melihat ada banyak orang yang melakukannya. Ukuran wajar ini adalah terhadap sampah berukuran kecil. Misalnya puntung rokok dan sobekan bungkus snack/permen.

 "Bungkusnya itu dibuang," begitu kata seorang ibu kepada anaknya yang masih di bawah 4 tahun. Tapi buangnya itu 'sembarangan'. Malah sang ibu setelah menyobek bungkusan snack itu, si ibu sendiri yang membuat secara sembarangan. Ini kan bukan contoh yang baik.

Yang laki-laki juga, misalnya yang merokok (walau sekarang ada vape) selalu buang puntung rokoknya sembarangan. Mereka menganggap hal itu wajar-wajar saja karena banyak orang melakukannya. Pengendara motor/mobil pun sering mempraktekkannya di jalanan.

"Sampah kecil kan tidak apa-apa, nanti juga terurai. Kecuali saya buang sampah besar-besar baru salah," kata pelaku.

Memang buang sampah kecil ini sangat efisien daripada menyimpannya dalam saku. Buang sampah telah dianggap hal wajar, sama wajarnya dengan buang ludah.

2. Buang sampah sembarangan itu demi penerimaan

Keadaan kadang membuat orang melakukan hal yang salah. Walau hati nuraninya tersayat, namun dorongan untuk berbuat tidak baik lebih besar. Karena apa? Karena rasa malu.

Kita sering merasa malu untuk berbuat benar. Aneh ya. Kita melihat banyak mata memandang ke arah kita. Entah itu memuji atau mencercah kita dalam hatinya, kita tidak tahu. Tapi yang jelas kita tidak nyaman dengan itu. Akhirnya kita memilih melakukan tindakan yang sama dengan mereka.

Dorongan lingkungan, mungkin bisa dibilang begitu.

3. Kurang adanya penghargaan terhadap alam

Walau banyak film yang mengisahkan tentang kehancuran alam akibat ulah manusia, kita gagal menangkap pesannya. Walau banyak media yang memberitakan tentang kerusakan alam oleh limbah, sampah dan pengrusakan hutan, hati kita tetap saja tidak tersentuh. Misalnya ikan paus yang mati karena banyak makan sampah plastik, di manakah rasa iba kita? Ketika mengalami musibah alam pun kita tidak berubah, kita terus mengeksploitasi mereka.

Kita tidak menghargai alam. Kita beranggapan bahwa tidak mungkin dunia akan hancur karena saya buang barang yang kecil begini. Tidak mungkin rusak, itu berita bohong yang dibuat-buat untuk tujuan tertentu dan sebagainya.

Tidak menghargai alam, itu akar masalah kita terkait buang sampah sembarangan. Kita dididik oleh dunia untuk mencari uang dan memuaskan kesenangan duniawi kita saja. Sampai kapan kita mau seperti ini?

Apakah tunggu kita tuai berbagai penyakit, berbagai kesukaran alam dan penderitaan karena alam sudah tidak bersahabat dengan kita baru kita sadar dan mau berubah? Terlambat.

Memang pendidikan Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika penting, namun pendidikan tentang menjaga alam tidak kalah penting untuk diberikan. Apa gunanya kita melek politik, tapi alam kita semeraut dan kumuh?

Penulis jarang sekali melihat orang betul-betul menghargai alam, lebih sering adalah melihat orang yang menikmati alam. Misalnya komunitas pecinta alam yang buang sampah sembarangan, bagi penulis itu bukan pecinta alam, tapi penikmat alam. Kembali kepada didikan dunia di atas.

Dari 3 poin di atas, penulis menyadari bahwa perubahan harus dimulai dari diri sendiri. Kita perlu selesai dengan segala gengsi, rasa penerimaan, malu dan sebagainya. Kita harus tantang diri kita untuk tidak merusak alam demi kelangsungan hidup kita bersama.

Salam.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun