Mohon tunggu...
Hendy Adinata
Hendy Adinata Mohon Tunggu... Freelancer - Sukanya makan sea food

Badai memang menyukai negeri di mana orang menabur angin | Email: hendychewadinata@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Jangan Belajar pada Orang Gagal

31 Januari 2020   12:44 Diperbarui: 31 Januari 2020   12:49 447
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menasihati (Sumber: utakatikotak.com)

Di rumah, biasanya orang tua selalu menasihati anak-anaknya atau saudara/i yang lebih tua menasehati saudara/i yang umurnya lebih muda darinya. Wajar-wajar saja kedengarannya, dan sharing seperti itu dibutuhkan untuk mempererat hubungan di antara anggota keluarga. Melalui nasihat diharapkan setiap anggota keluarga bisa memiliki rasa saling memiliki, saling percaya dan sepenanggungan. Khususnya bagi mereka yang lebih muda, mereka bisa lebih memahami realita hidup.

Sebuah nasihat kadang ditambah dengan kalimat penutup "Aku nasehati kamu, karena aku udah pernah gagal. Aku ndak mau kamu gagal juga". Begitu ucap seseorang yang lebih tua.

Pertanyaannya, apa benar ucapan seperti itu bisa dipertanggungjawabkan? Apakah ketika seseorang pernah gagal, dia punya hak untuk mendidik orang lain yang belum tentu mengalami kegagalan seperti dirinya? Apakah setelah gagal, ucapan seseorang kemudian mengandung kebenaran hakiki? Apakah ucapannya perlu dituruti?

Penulis rasa cara seperti itu keliru. Klaim tentang "Saya sudah pernah gagal" banyak dijadikan sebagai suatu dasar pembenar bagi seseorang untuk berbicara kepada orang lain. Di pikiran mereka, mereka menganggap bahwa mereka sudah sangat berpengalaman, sedangkan yang lainnya "masih hijau". Pikiran mereka ini ada benarnya, tapi hanya sebagian kecil.

Orang yang ucapannya mengatasnamakan "pernah gagal" beranggapan bahwa dirinya patut didengar sebagai warning. Di lingkungan keluarga, orang-orang "pernah gagal" ini menjadikan pendapatnya sebagai kebenaran dan rujukan utama. 

Dalam kejadian yang ekstrim, pendapat mereka bukan bersifat sebagai warning lagi, tetapi lebih kepada pemaksaan. Terlebih ketika pemaksaan itu tidak berdasarkan hal logis, tetapi perasaan semata, kita tidak bisa melakukan apapun selain menurut saja. Untuk apa? Supaya tidak bertengkar, supaya tidak memperkeruh keadaan.

Pembaca pernah mengalaminya?

Secara sadar atau tidak sadar, mereka ini sudah lama bertebaran di sekitar kita. Kita pun jarang membantah mereka karena faktor budaya kita yang meminta orang muda untuk taat pada yang tua. Jadilah budaya seperti itu terus berlanjut hingga sekarang dan anak-anak muda selalu menjadi korban. 

Ketika pengkoreksian datang dari yang muda, pihak yang tua langsung sakit hati dan tidak terima karena dikoreksi oleh yang lebih junior. Mereka merasa dirinya paling berotoritas dan paling benar, perdebatan dan pertengkaran pun tidak terhindarkan.

Dalam ranah professional, masyarakat awam kita kadang merasa dirinya lebih pintar dari seorang dokter, perawat, apoteker, advokat dan sebagainya. Mereka merasa cukup pintar untuk berdebat karena membaca beberapa artikel/jurnal ilmiah, mereka beranggapan bahwa setiap pendapat sama baiknya, mau ahli yang berbicara atau orang sipil (dalam buku Matinya Kepakaran karya Tom Nichols). 

Apalagi di ranah sosial yang tidak pakai rumus dan penjelasan imliah, orang-orang gagal ini karena sedikit pengalaman saja sudah bertingkah seperti yang paling tahu semuanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun