Mohon tunggu...
Hendriko Handana
Hendriko Handana Mohon Tunggu... Freelancer - Orang biasa, menulis suka-suka

Pria berdarah Minang. Seorang family man humble. Hobi membaca, menulis, dan berolahraga lari. "Tajamkan mata batin dengan mengasah goresan pena"

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Autobiografi: Aktivis Penuh Ambisi

13 Maret 2019   06:21 Diperbarui: 14 Maret 2019   07:43 61
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: http://demo.topcoachindonesia.com/ambisi/

Autobiografi: *AKTIVIS PENUH AMBISI*

Oleh: Hendriko Handana

Sebuah rumah setengah kayu berdiri kokoh dikelilingi kebun luas yang dalam bahasa kami disebut porak. Rumah ini peninggalan turun-temurun yang sudah dipugar beberapa kali. Ditinggali oleh keluarga besar Atuk dan Ibu beranak cucu. Atuk dan Ibu adalah panggilan kami untuk kakek dan nenek.

Mama selaku anak sulung sejatinya mempunyai lima saudara. Namun, dua orang meninggal di usia remaja. Bersama Papa dan Mama, kami tinggal dan dibesarkan dengan masa kecil yang bahagia bersama dua orang tante yang kusebut Etek dan seorang paman yang kupanggil Mak Etek.

Aku anak kedua dari empat bersaudara. Tiga orang dari kami lahir dan besar di rumah ini. Sementara adik keempat kami, kelak menyusul lahir setelah kami pindah ke rumah yang baru.

Tiga puluh dua tahun yang lalu sejak aku dilahirkan oleh Mama pada tanggal 26 September 1986, rumah ini menjadi episode awal kehidupanku mulai meniti anak tangga dunia. Beribu kenangan masa kecil tersisa tak mungkin terulang dengan seribu cerita.

Rumah ini menjadi saksi saat sekalinya Mama menjadi tim SAR berdaster, saat aku tercebur di dalam kolam tebat ikan kala bermain perahu kertas dengan abangku yang kupanggil Uda. Di kolam yang sama juga menjadi saksi tatkala boker ditemani suara kodok bersahutan nyanyi berlomba. Hehe. Situasi ini begitu mewah, takkan pernah berjumpa di kota metropolitan Jakarta.

Di belakang rumah ada pohon durian yang saat buah matangnya jatuh ber-dombin kami berlari agar tak didahului sekawanan pemuda. Ada bayangan ketika aku sering menangis kesal gara-gara tak kunjung bisa seimbang mengayuh sepeda. Ada juga tentang tertawa lega saat berhasil selamat dari pengejaran angsa-angsa milik tetangga. Sungguh menjadi rumah sejuta makna.

Papa dan Mama, dua-duanya pegawai negeri. Papa meniti karir sebagai pegawai negeri di Dinas Kesehatan Kabupaten Lima Puluh Kota. Sedangkan Mama bertugas sebagai guru di SMA Negeri 2 Payakumbuh. Papa seorang aktivis. Beberapa periode ia menjabat sebagai ketua organisasi pemuda sejenis karang taruna. Sampai kini, setelah pensiun juga masih menjabat posisi di beragam organisasi. Sepertinya, hal ini yang kelak menular pada aktivitas masa sekolahku.

Padang Japang, nama kampung kami. Terletak di pelosok negeri Kabupaten Lima Puluh Kota, Propinsi Sumatera Barat. Berjarak 20-an kilometer dari pusat Kota Payakumbuh. Jika dicari di google, maka kebanyakan hasil pencarian yang muncul tidak jauh dari sejarah masa lalu. Diantaranya kunjungan Presiden Soekarno ke pesantren Syaikh Abbas Abdullah, seputar cerita Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI), atau seputar cerita mengenai kampung santri.

Kami hidup dan dibesarkan di lingkungan dengan kehidupan agama Islam yang kuat. Sangat jarang satu kampung yang mempunyai beberapa madrasah dan pesantren sekaligus. Mungkin cuma ada di kampung kami. Tak heran, Ibu ingin salah satu cucunya menjadi ulama besar yang mengenyam pendidikan di Timur Tengah. Walaupun, cita-cita itu belum tercapai hingga kini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun