Episode demi episode cerita warga Bukit Duri masih terus berlanjut, dimulai dari penggusuran, lalu gugatan (class action) warga ke pengadilan, putusan pengadilan yang memenangkan gugatan warga, kemudian penolakan Pemprov Jakarta untuk mengajukan banding. Sebagai konsekuensinya, Pemprov DKI Jakarta harus siap membayar ganti rugi materiil masing-masing Rp 200 juta kepada 93 warga karena terbukti melanggar hukum dalam penggusuran.
Episode terbaru warga Bukit Duri, sebagaimana dikutip dari kompas.com, adalah menuntut Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan untuk membangun kampung susun yang konsepnya sedikit berbeda dengan rumah susun.
Konsep Kampung Susun (dirancang oleh empat biro arsitek) merupakan susunan beberapa blok bangunan yang masing-masing terdiri dari 5-6 lantai, dan ditata sedemikian rupa sehingga deretan unit pada lantai di suatu blok langsung dihubungkan dengan deretan unit di blok lain, sehingga lantai berbagai blok yang saling berhubungan itu menyerupai sirkulasi pada lingkungan kampung.
Ada pertanyaan menarik yang muncul dan biasanya akan menjadi pro kontra, apakah konsep Kampung Susun bisa diimplementasikan di kawasan Bukit Duri? Lantas, bagaimana dengan aspek keterjangkauan (affordability) jika proyek ini benar-benar dilaksanakan?
Agak sulit menjawab pertanyaan diatas karena banyak faktor yang harus dipertimbangkan sementara informasi yang tersedia tidak cukup memadai untuk menganalisa situasinya secara lebih komprehensif.
Tulisan ini sebenarnya hanya sekedar untuk memberikan gambaran singkat pada pembaca, tentang beberapa "materi umum" yang biasanya menjadi bahasan penting dalam dialog antara Pemprov DKI Jakarta dengan warga nantinya, Â jika konsep kampung susun ini ingin diimplementasikan dengan baik. Materi-materi pembahasan ini tentu terkait dengan faktor-faktor paling berpengaruh dalam penyediaan hunian terjangkau bagi warga Jakarta, sebagaimana diuraikan sebagai berikut:
Pertama, terkait dengan lahan
Warga Bukit Duri meng-claim bahwa sudah tersedia lahan yang siap dibebaskan untuk merealisasikan proyek ini, tinggal menunggu dieksekusi oleh Pemprov Jakarta menggunakan dana ganti rugi materiil yang total berjumlah Rp 18.6 milyar.
Namun, pihak warga masih belum memberi informasi lebih detail tentang berapa harga lahan yang dimaksud dan apakah dana yang tersedia mencukupi keseluruhan biaya pembebasannya atau tidak. Selain itu, perlu juga diketahui apakah luas lahan yang dijual juga sudah memenuhi minimum jumlah kebutuhan lahan untuk merealiasikan pembangunan keseluruhan unit kampung susun yang akan dibangun.
Jika ternyata aspek lahan ini menjadi kendala, contohnya karena dana yang dialokasikan ternyata tidak mencukupi, tentu ini akan menjadi bahasan penting pertama antara warga dan pihak pemprov untuk mencari solusi terbaik.
Bila terdapat kekurangan lalu kekurangan ini ditutupi dari dompet pemprov, satu hal yang harus disadari bersama adalah konsep ini harus disepakati dan dilaksanakan berdasarkan hitung-hitungan yang jelas, karena pihak pemprov bertanggungj jawab terhadap sistem pengelolaan keuangan daerah yang sesuai dengan prinsip-prinsip good governance, dengan tata cara pengelolaan yang transparan dan akuntabel.