Mohon tunggu...
Hendra
Hendra Mohon Tunggu... Penulis - Clear thinking equals clear writing

Lahir dan besar di Jakarta. Topik tulisan: mengatur keuangan pribadi, kehidupan di Australia dan filosofi hidup sederhana. Saat ini bermukim di Sydney.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Menghilangkan Rasa Takut Kehilangan Pekerjaan

26 April 2014   02:16 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:11 2258
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Keamanan kerja (job security) sudah mati. Terlebih di era globalisasi sekarang ini yang diwarnai persaingan ketat. Namun herannya masih banyak orang yang tidak bisa menerima fakta tersebut. Lihat saja reaksi karyawan-karyawan yang kena PHK karena outsourcing, otomasi, perampingan perusahaan atau persaingan dengan karyawan baru yang jauh kompeten dan rela digaji sama.

Bapak saya sendiri seorang karyawan swasta bekerja di perusahaan yang sama selama lebih dari 40 tahun merangkak dari posisi sales keliling Jakarta naik motor hingga akhirnya dipromosi menjadi manajer. Boss beserta sanak keluarganya menguasai perusahaan tersebut. Bisa dibilang bapak saya adalah sedikit dari ‘orang luar’ yang menduduki posisi manajerial.

Ketika perusahaan maju dan jasa bapak saya masih dibutuhkan untuk mencari dan menjaga relasi langganan, semua orang cinta semua orang. Begitu sanak saudara boss sudah besar dan bapak sudah semakin tua, seribu satu cara mulai keluar untuk mendepak bapak keluar agar posisinya bisa digantikan dengan saudara boss sendiri yang masih muda dan murah. Cara mendepaknya halus. Beberapa bawahan bapak disisipi saudara boss sendiri yang notabene sulit diatur karena merasa yang punya perusahaan. Dengan demikian otomatis tanggung jawab pekerjaan jadi bertambah hingga bapak kewalahan sendiri. Ketika dibicarakan sama boss, jawabannya: “saya tidak suruh kamu kerjain kok”.

Terjemahan: “Saya tidak punya alasan legit untuk memecat, jadi saya bikin aja kerjaan kamu seperti neraka biar kamu sendiri gak tahan akhirnya keluar sendiri”.

Waktu kecil saya tanya bapak kenapa tidak keluar saja cari pekerjaan di perusahaan lain. Bapak bilang mesin tua siapa mau. Maklum iklan lowongan kerja di Indonesia sarat dengan syarat-syarat tidak masuk akal (penamplian menarik, belum berkeluarga, usia maksimum 35 tahun dll).

Pengalaman bapak kelak menjadi pelajaran berharga ketika bekerja sebagai karyawan swasta di Sydney. Kondisi karyawan antara Indonesia dan Australia tentu berbeda. Namun alasan perusahaan melakukan PHK di seluruh dunia sama.

Berkeluh-kesah, mengasihani diri sendiri, mengandalkan belas kasihan, menyalahkan perusahaan/pemerintah/keadaan ekonomi, berlindung dibelakang serikat buruh hanya membuang waktu. Kehilangan pekerjaan sering kali diluar kontrol karyawan. Ketika krisis ekonomi global menghantam, perusahaan terkadang tidak memiliki banyak pilihan selain melakukan PHK demi kelangsungan hidupnya.

Poin-poin dibawah disarikan dari pengalaman dan pengamatan pribadi dalam membunuh rasa takut kehilangan pekerjaan. Terus terang saya sendiri juga perlu pengingat meski sudah kenyang dengar cerita bapak sejak kecil.

Menerima Realitas: Perusahaan Berdiri Untuk Profit dan Karyawan adalah Expense

“Kalian adalah aset perusahaan”. Kita yang berstatus karyawan hampir pasti pernah mendengarnya. Kedengerannya enak karena kita jadi merasa penting. Kalau memang benar karyawan adalah aset, mengapa saya tidak pernah dengar perusahaan ‘menjual’ karyawan untuk membayar hutang? Yang ada karyawan ‘dilepas’ untuk mengurangi beban finansial perusahaan.

Kalau boss Anda mengatakan bahwa karyawan adalah aset, coba tanya gaji karyawan ditaruh di kolom mana dalam pembukuan, Aset atau Biaya? Kalau dia bilang Aset suruh pecat akuntannya hehe.

Tentu saja itu hanya kiasan. Faktanya perusahaan bukan lembaga amal. Perusahaan berdiri pada hakikatnya untuk mendatangkan profit bagi pemilik dan karyawan hanyalah salah satu sumber daya dalam mencapai profit.

Ya banyak perusahaan yang mengklaim bahwa mereka hadir untuk melayani masyrakat. Mereka juga mengklaim karyawan adalah bagian dari keluarga perusahaan. Sebagai pembuktian, mereka menerbitkan Corporate Social Responsibility (CSR) report yang berisi kegiatan philanthropy lengkap dengan foto senyum lebar masyarakat miskin menerima bantuan.

Semua orang bisa berbuat baik namun tidak ada yang benar-benar tahu motif dibalik perbuatan baiknya. Apakah untuk menarik simpati, agar disukai, mencari popularitas atau untuk menanamkan rasa hutang budi agar mudah meminta bantuan suatu hari?

Mirip halnya dengan perusahaan. Bila menjadi good corporate citizen bisa menarik simpati pasar dan ujung-ujungnya mendatangkan profit, mengapa tidak?

Apakah Keahlian Anda Relevan Untuk Masa Depan?

Saya masih ingat bapak saya disela-sela kesibukannya mendengar kaset rekaman belajar bahasa inggris di kamar. Ketika nyisir rambut sebelum berangkat kerja, bapak selalu menghafal frasa-frasa singkat bahasa Ingggris yang ditempel di cermin seperti: “how are you?”, “the meeting will take place at..” dan seterusnya. Pada saat itu usianya sudah 50 tahunan. Pada masa itu juga bapak belajar menggunakan komputer dan email. Itu semua demi menjadikan dirinya tetap relevan sesuai perkembangan jaman.

Beberapa lama setelah perusahaan tempat saya bekerja melakukan outsourcing yang berakibat PHK besar-besaran, divisi saya diundang menghadiri CEO forum. Setelah memaparkan visi dan misi perusahaan untuk 5 – 10 tahun kedepan, para karyawan diberi kesempatan untuk menulis pertanyaan apapun di secarik kertas tanpa perlu menuliskan nama agar CEO dapat mendengar langsung tanpa karyawan merasa terintimidasi.

Tak pelak beberapa pertanyaan dan komentar bernada marah pun muncul seperti ‘what will happen to my job?’ (apa yang akan terjadi dengan pekerjaan saya). CEO menjelaskan bahwa persaingan kini sangat ketat, profit margin menciut dan kita harus selalu satu langkah lebih awal dari saingan. Tidak ada perusahaan yang bisa santai berleha-leha meskipun saat ini menguasai pasar. Lihat nasib Nokia dan lihat Apple sekarang yang mendapat persaingan sengit dari Samsung, ucapnya.

Dalam menutup pertanyaan tersebut, CEO berkata “we are on this journey together. Unfortunately some people won’t be able to make it. You might have the skills for today but do you have the skills for tomorrow?

Pengingat yang mantap dari sang CEO.

Tidak Ada Yang Peduli Dengan Kesejahteraan Anda Kecuali Anda

Pelajaran ini saya dapat dari teman kerja yang punya hobi fotografi.  Diluar pekerjaan senin-jumat, dia juga berprofesi sebagai fotografer freelance di akhir pekan bekerja sama dengan teman-teman yang punya usaha foto pre-wedding. Di luar itu dia juga memiliki dua investasi properti yang disewakan keluar. Dia mengaku harus nombok (biaya cicilan > uang sewa) meskipun jumlahnya tidak banyak karena mengandalkan apresiasi nilai properti yang sekarang nilainya lumayan dibanding harga beli. Dia tidak takut kena pecat karena memiliki basis aset yang kuat dan penghasilan sekunder.

Teman saya yang lain sebut saja Adi mengaku tidak takut kena PHK karena selain akan mendapat pesangon yang besar (dia sudah kerja bertahun-tahun), tabungan dia lebih dari cukup untuk hidup paling tidak 6 tahun untuk istri dan anaknya yang masih kecil dengan menjalani gaya hidup sederhana.

Menurutnya seorang karyawan harusnya tahu diri proaktif belajar mengelola keuangan pribadi dan berinvestasi. Mereka yang sudah tahu statusnya ‘cuma karyawan’ tapi gemar menghamburkan uang demi mengejar gaya hidup jet-zet tidak pantas mendapat simpati ketika jatuh bangkrut kena PHK malah menyalahkan perusahaan.

Lalu bagaimana dengan orang seperti saya yang tinggal di negara maju seperti Australia? Bukankah pemerintahnya peduli dengan kesejahteraan penduduknya lewat perawatan medis gratis, uang pensiun dsb?

Pertama, harus dipahami bahwa servis tersebut sudah ‘dibayar dimuka’ lewat pajak yang tinggi (bisa sampai 40% tergantung penghasilan). Kedua, bantuan tersebut lebih diperuntukkan bagi mereka yang berpenghasilan rendah. Semakin tinggi penghasilan Anda semakin kecil benefits yang Anda dapat dari pemerintah. Singkat kata pemerintah hanya menyediakan jaringan penyelamat namun kesejahteraan tetap menjadi tanggung jawab pribadi individu.

Lagi pula harga diri mau ditaruh dimana kalau cuma makan duit pembayar pajak seumur hidup.

Anda Bukanlah Pekerjaan Anda

Delapan jam sehari mengucurkan pikiran dan tenaga secara alami menimbulkan rasa keterikatan emosi dengan pekerjaan kita. Ini diperkuat lagi lewat hubungan sosial dengan kolega baik didalam maupun luar kerja kantor. Pekerjaan lebih dari sekedar ajang cari makan tapi juga memberi jati diri, status sosial, stimulasi intelektual dan lingkungan pergaulan. Jadi tidak heran orang menjadi stress setelah berhenti kerja karena merasa tidak berguna. Tidak heran juga sebagian masyarakat kita memandang menjadi wanita karir statusnya lebih terhormat dibanding ibu rumah tangga. Post- power syndrome juga bukan fenomena langka bagi pensiunan.

Sisi psikologis dalam pekerjaan saya sadari setelah tidak habis pikir mengapa pada usia 71 tahun bapak menolak berhenti kerja meskipun sudah tidak butuh uang. Dibilang cinta sama pekerjaannya juga tidak, yang ada stress berat. Sudah bertahun-tahun bapak rutin makan obat karena tingginya tingkat asam lambung akibat stress. Belakangan bapak kena stroke ringan karena darah tinggi. Lagi-lagi karena stress kerja dan dokter sudah menyarankan untuk berhenti.

Kalau ngobrol dengan bapak topiknya tidak pernah jauh seputar pekerjaan, kelakuan rekan kerja dan si boss. Pernah dulu ketika berkunjung ke Sydney saking kesalnya saya suruh pulang saja ke Jakarta kalau masih ngoceh soal kantor bukannya refreshing. Kalau ditanya soal aktifitas setelah pensiun, jawabannya tidak tahu nanti saja baru dipikir. Terus terang sampai sekarang saya tidak tahu apa minat bapak diluar kerja.

Secara intelektual kita tahu di dunia tidak ada yang abadi. Dalam dunia kerja semua orang tergantikan (replaceable) termasuk CEO. Pada akhirnya kita semua akan keluar dari dunia kerja dengan berbagai alasan. Kena PHK hanya mempercepat proses tersebut dan satu dari sekian banyak alasan keluar dari dunia kerja yang fana.

Kerbau berguna bila bisa membajak sawah. Mesin berguna bila tetap berjalan sesuai fungsinya. Menarik identitas diri semata-mata dari profesi sama saja dengan mereduksi harga diri manusia tidak lebih dari mesin atau hewan.

Prinsip saya: “Bring your brain, passion and soul to your work but remember you are not your f*cking job.”

***

Ketidakamanan kerja berdampak pada keuangan dan psikologis karyawan. Dengan matinya job security, dalam dunia kerja seorang karyawan hanya bisa bertopang pada employability – kemampuan untuk bekerja dengan terus menjadikan dirinya relevan lewat up-skilling tanpa henti.

Bila kematian menjadikan hidup lebih bermakna tentu matinya job security juga memiliki makna tersendiri.

Hendra Makgawinata

Sydney, 25/04/14

Baca juga:

Cara Bermain Politik Kantor Tanpa Kotor

Mohon tunggu...

Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun