Kasusnya mungkin meledak saat ini, namun problematika Base Transceiver Station (BTS) kiranya dari dulu kerap menuai pro kontra di tengah masyarakat. Jika fokus yang tengah dipublikasikan adalah persoalan pengadaan, tentu hal ini tampak realistis dengan apa yang dirasa oleh masyarakat. Khususnya di berbagai daerah yang minim akses komunikasi dan internet.
Daerah 3T (terdepan, terkecil,dan tertinggal) tidak melulu berlokasi di luar Jawa. Hal ini banyak ditemui di Banten, dan Jawa Barat, sesuai pengalaman penulis. Dua area yang minim koneksi internet inilah yang dapat dijadikan tolok ukur dari perkembangan di era digital. Dapat dibayangkan, bagaimana berjibakunya para siswa kala pandemi Covid 19 melanda.
Walaupun di Jawa Tengah dan Jawa Timur pun kiranya demikian, atau di daerah lain luar pulau Jawa. Persoalan ini tentu menjadi jawaban atas progresifitas yang tampak berseberangan. Kemajuan digitaliasi di berbagai sektor tampaknya tidak diimbangi dengan sarana yang memadai sebagai penunjangnya.
Bahkan Mahfud MD menyebutkan ada sekitar 985 menara BTS mangkrak, tak dapat difungsikan. Tidak tanggung-tanggung, sebesar 8 Triliun lebih korupsi pengadaan BTS terjadi di lingkungan Kemenkominfo. Ini adalah bukti bagaimana akses digitalisasi belum siap untuk dijadikan orientasi pembangunan bangsa. Walau dengan konsep percepatan dan pemerataan pembangunan di setiap desa.
Banyak data yang dapat disajikan secara faktual. Badan Pusat Statistik (BPS) pun menjelaskan secara rinci mengenai daerah-daerah yang belum memiliki akses layanan telekomunikasi dengan baik. Dimana Jawa Barat menempati posisi pertamanya dengan sebanyak 35 desa/kelurahan tanpa sinyal baik/lemah. Kedua adalah Banten, dengan 16 desa/kelurahan tanpa sinyal baik/lemah, per tahun 2021.
Ini kiranya dapat menjadi informasi bagi publik. Bagaimana digitalisasi yang sejatinya adalah kunci bagi kemajuan masyarakat, justru diselewengkan melalui berbagai konspirasi. Sedangkan untuk daerah Jawa Timur dan Aceh ada pada peringkat ketiga, dengan total 10 desa/kelurahan tanpa sinyal baik/lemah. Untuk lebih lengkapnya silahkan cek disini.
Maka secara abstraktif dapat dijelaskan, bahwa indikasi korupsi BTS sebenarnya tidak hanya terjadi di daerah 3T. Melainkan di daerah yang justru dekat dari Ibukota, Jakarta. Analisis yang dapat diterangkan tentunya perihal kerjasama antara Kominfo dengan berbagai Kepala Daerah 3T ataupun non 3T. Bagaimana pengadaan BTS dapat direalisasikan dengan baik, dan transparan bersama masyarakat.
Apalagi disebutkan bahwa proyek pengadaan BTS kerap dijadikan arena adu tender yang tidak sehat. Hal ini selain membahayakan bagi masyarakat, tentu dapat merugikan secara finansial bagi para pelaku ekonomi, yang bergantung pada jaringan internet. Bahaya dalam perspektif struktur bangunan yang kemungkinan labil atau tidak sesuai dengan standar.
Maka tidak heran, jika banyak berita memuat bahwa menara BTS kerap menimbulkan bencana bagi masyarakat di sekitarnya. Hal ini yang kiranya menjadi area transparansi bagi masyarakat, sesuai dengan PerMen No. 02/PER/M.KOMINFO/3/2008. Syarat persetujuan oleh warga atau pihak terkait inilah, justru banyak diselewengkan hanya demi kepentingan pemilik proyek atau pemenang tender.
sosial. Apalagi jika berhubungan dengan percepatan pembangunan daerah tertinggal. Ada banyak faktor yang dapat dipahami, selain dari kebutuhan masyarakat, ada faktor lain yang seharusnya dapat dijadikan orientasi, seperti layanan pendidikan dan kesehatan.
Memang, selain dibutuhkan, pendirian menara BTS adalah persoalan yang multikompleks jika ditinjau dari realitas