Sejak memasuki tahun 1965, pergesekan politik antar kelompok semakin menguat. Baik antara barisan nasionalis, agama, ataupun komunis, semua seolah tengah berebut peran. Beberapa daerah mulai bergejolak memasuki area konflik sosial, seperti yang terjadi di Kediri, Jawa Timur.
Konflik kepentingan diantara para elite politik di pusat, sudah semakin menjalar hingga ke daerah. Gesekan yang terjadi mulanya berangkat dari perseteruan ideologis pada akhirnya beranjak menjadi aksi saling serang. "Adu kekuatan" semakin terbuka dan kerap memakan korban jiwa.
Kuncoro Hadi menuliskan, bahwa konflik sosial yang terjadi di Kediri semula memang berangkat dari aksi-aksi yang dilakukan oleh Barisan Tani Indonesia (BTI) underbow PKI. Mulanya adalah peristiwa Djengkol yang dianggap sebagai cikal bakal aksi pertikaian antar kelompok yang berseberangan secara ideologis.
Begitupula pada peristiwa Kanigoro, yang terjadi pada 13 Januari 1965. Sekitar 3.000 massa komunis dibawah Soerjadi (Ketua Cabang Pemuda Rakyat dan BTI) menyerbu para peserta mental training Pelajar Islam Indonesia (PII) yang tengah melakukan pelatihan. Pada aksi tersebut, sejumlah Kyai dan Imam masjid dipukuli seraya melakukan perusakan terhadap rumah ibadah beserta isinya.
Terjadi lagi aksi perusakan terhadap lahan pertanian di Kediri, pada 15 Januari 1965, tepatnya di desa Gayam. Sekitar 1000 massa BTI menyerang Soedarmo yang tengah menggarap sawah. Aksi-aksi serupa juga terjadi di beberapa desa lainnya, seperti di Kras dan Plosokklaten, hingga menyebabkan banyak masyarakat luka-luka.
Semua berangkat dari kebijakan land reform, yang disebut-sebut sebagai latar belakang dari aksi-aksi konflik atas tanah sengketa dan lahan garap. Walau tujuannya adalah perebutan secara sepihak oleh BTI terhadap para "tuan tanah", dengan tujuan dibagikan kepada para anggotanya atas dasar kepentingan politik.
Kemudian, aksi serangan balasan kepada markas BTI dilakukan oleh barisan Banser pada 18 Januari 1965, sebagai reaksi dari apa yang mereka (BTI) lakukan di Kanigoro beberapa waktu sebelumnya. Puncaknya pada 29 Januari 1965, puluhan ribu massa Islam berkumpul di Kras, Kediri, untuk berunjuk rasa menentang aksi kekerasan yang dilakukan oleh PKI beserta organisasi underbow-nya.
Kampanye "ganyang 7 setan desa" dan "setan pantai", seperti yang dilansir oleh surat kabar Harian Rakyat (PKI) edisi 30 Januari 1965, semakin membuat suasana kacau. Terlebih ketika para seniman Lekra (PKI) secara masif memprovokasi masyarakat dengan "melecehkan" agama melalui lakon/pentas keseniannya. Seperti yang terjadi di Banyuwangi pada awal bulan Februari 1965.
Tanggal 14 Februari 1965, massa BTI di Kediri melakukan aksi kekerasan kembali. Kali ini menyasar kepada anggota PNI bernama Sudarno, yang kala itu hendak diambil paksa tanah garapnya oleh ratusan orang BTI. Serupa dengan peristiwa sebelumnya, aksi kekerasan akhirnya membuat Sudarno meminta bantuan kepada Anshor Kediri untuk merebut kembali tanahnya dari tangan BTI.
Terjadi aksi balasan terhadap anggota BTI dan simpatisan PKI di desa Adan-Adan, Pagu, Kediri pada 23 Februari 1965. Sekitar 6000 orang dari barisan rakyat non-komunis menyerang rumah-rumah orang BTI dan para pendukung komunis. Peristiwa ini kemudian memberi dampak signifikan terhadap identifikasi sosial di masyarakat.