Mohon tunggu...
Hendra Fokker
Hendra Fokker Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Sosial

Buruh Kognitif yang suka jalan-jalan sambil mendongeng tentang sejarah dan budaya untuk anak-anak di jalanan dan pedalaman. Itu Saja.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kisah Suku Anak Dalam Menentang Eksploitasi Alam

12 Juli 2021   04:41 Diperbarui: 12 Juli 2021   06:54 580
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Akhir abad ke 19, Belanda yang sudah menguasai beberapa daerah di Indonesia, mulai mengeksplorasi Jambi dengan tujuan dapat memonopoli perdagangan di daerah pesisir tak jauh dari Selat Malaka. Pada mulanya eksplorasi Belanda ini menggunakan pendekatan kerjasama dengan Kesultanan Jambi.

Pendekatan kerjasama itu kemudian berubah menjadi pendekatan politik militer usai Belanda berhasil mendirikan benteng pada 1916 di Muara Tembesi. Benteng yang terkenal dengan nama Benteng Tembesi ini menjadi saksi atas kerusakan alam yang mengakibatkan 3 juta meter kubik pohon ditebang.

Eksploitasi alam secara besar-besaran ini dilakukan Belanda guna menguasai minyak bumi yang berada di pedalaman Jambi. Kerusakan-kerusakan alam dianggap sebagai konsekuensi guna meraih pendapatan hingga 2 juta Gulden pada tahun 1935. Benteng Tanjung Gagak berdiri sebagai wujud eksplorasi militer.

Dilain pihak, Kesultanan Jambi melihat praktik eksplorasi ini sebagai bentuk ikrar perang yang melibatkan suku-suku pedalaman Jambi, seperti Suku Anak Dalam. Awal pertikaian dengan Belanda ini dimulai sejak Raden Mohammad Taher mengikrarkan perlawannya pada tahun 1890.

Sosioetnik Suku Anak Dalam

Eksistensi Suku Anak Dalam di pedalaman Sumatera secara tutur menjelaskan latar belakangnya berasal dari Maalau Sesat. Orang-orang inilah yang kemudian dikenal sebagai Moyang Segayo dan akrab dengan sebutan Orang Rimba. Mereka tersebar di sekitar Tanam Nasional Bukit Duabelas saat ini.

Memiliki sifat yang tertutup pada modernitas sejak dahulu. Kedatangan bangsa-bangsa asing di Jambi pun dianggapnya sebagai penyakit yang harus dihindari. Ketergantungan hidup terhadap hutan yang kaya akan sumber penghidupan, mengharuskan Orang Rimba memiliki naluri sebagai penjaga alam.

Secara entitas, Orang Rimba tersebar dalam tiga daerah sesuai keturunannya masing-masing. Orang Rimba Minangkabau dapat ditemui di Bungo Tebo dan Mersan, Orang Rimba Sumatera Selatan eksis di Batanghari, sedangkan Orang Rimba Jambi bermukim di Sarolangun Bangko.

Eksplorasi yang dilakukan Belanda dengan cara merusak hutan untuk membuka jalan penghubung, tentu mendapat reaksi perlawanan oleh Orang Rimba. Kontekstual Jambi, sebagai area eksploitasi sejak tahun 1880 tercatat telah menimbulkan serangkaian pertempuran yang merugikan bagi pihak Belanda.

Aturan hidup Melangun, dengan konsep hunian nomaden memungkinkan keberadaan mereka tidak dapat terdeteksi oleh Belanda. Sistem kekerabatan matrilineal adalah suatu sebab Orang Rimba tidak dapat dipengaruhi oleh Belanda. Siasat adu domba yang kerap digunakan Belanda, tidak berguna terhadap mereka.

Keterlibatan Orang Rimba dalam Perang Jambi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun