Mohon tunggu...
Hendra Fahrizal
Hendra Fahrizal Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Certified Filmmaker and Script Writer.

Hendra Fahrizal, berdomisli di Banda Aceh. IG : @hendra_fahrizal Email : hendrafahrizal@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Ketinggalan Pesawat yang Mengubah Arah Hidup

3 Juli 2020   22:19 Diperbarui: 6 Juli 2020   22:12 166
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Uang ini tentunya harus dipergunakan sebaik-baiknya. Kalau saya ingin keluar dari zona yang tidak menyenangkan selama ini, maka inilah modal hidup mati saya. Saya hanya akan gunakan untuk hal yang bisa mengubah nasib. Jika bukan untuk modal usaha, maka untuk pendidikan. Bicara pendidikan, seleksi mahasiwa baru di universitas negeri masih lama. Tak bisa saya tunggu. Keburu habis uangnya. Lagipula saya tidak yakin akan mengulang keberuntungan saya lulus di universitas negeri. Bila pun lulus, bagaimana uang-uang lain yang akan keluar selama 4-5 tahun kuliah itu. Kan jelas tidak cukup di 1,5 juta ini saja. Jadi, mimpi jadi mahasiswa negeri saya kubur. Modal usaha? Saya lihat sana-sini, nggak ada pilihan menarik. Paling jualan makanan model gerobak. Tapi saya sangat tidak bisa masak. Jadi saya kubur juga.

Lalu tiba-tiba saya melihat sebuah iklan di koran, bahwa ada sebuah lembaga pendidikan komputer yang menerima mahasiswa baru dengan paket peluang kerja bila berprestasi. Peluang kerjanya adalah menjadi asisten instruktur di lembaga tersebut jika memperoleh IP 10 terbaik di tahun pertama. Setelah itu akan berpeluang menjadi instruktur tetap bila performa selama menjadi asisten bagus. Kuliahnya 2 tahun. Setelah saya pergi kesana dan saya tanya-tanya, biaya SPP adalah 350 ribu per semester. Saya hitung-hitung duit 1,5 juta ini lebih cukup untuk 1 tahun (bahkan mungkin untuk 2 tahun sekalian) hingga saya jadi asisten. Misi utama, meraih 10 besar rangking teratas.

Dari situ saya benar-benar belajar. Di masa SMA, pada saat UN pun saya malas-malasan. Besok UN, saya malah masih siaran sore di radio. Haha. Tapi di titik ini, saya benar-benar belajar, belajar malam, menghafal rumus-rumus Microsoft Excel dan Lotus yang memusingkan.

Oh ya, sebagai informasi, dulu komputer tidak seperti sekarang. Dulu, pada masa tranformasi dari sistem operasi Dos ke Windows 95 baru terjadi, kita masih tergagap-gagap dengan Windows ini sendiri. Bisa komputer adalah kelebihan yang tidak dimiliki banyak orang. Itulah mengapa kalau mau bekerja, perusahaan mewajibkan pelamar punya sertifikat belajar komputer. Jadi waktu itu bisa komputer ada gengsinya, berarti kita diatas rata-rata dibanding orang. Haha.

Hari yang dinanti tiba. Pengumuman. Saya memperoleh hasil rangking 2. Alhamdulillah, lulus jadi asisten instruktur. Sudah ada kerjaan yang memberikan penghasilan, walau ujung-ujungnya setelah tahu gajinya cuma cukup-cukupan untuk diri sendiri aja. Tapi tetap syukur alhamduillah. Setidaknya kalau orang-orang nanya, apa kerja, jawabannya: mengajar. Adalah sedikit peningkatan marwah. Haha. Karena dulu benar-benar masa tidak enak. Ditanya kuliah dimana, jawabannya tidak kuliah. Serasa jadi kodok kalo dapat momen begitu.

Ternyata, tanpa sepengetahuan saya, pada masa transisi Dos ke Windows itu pula, banyak SDM kantor tergagap-gagap menggunakan Windows. Jadilah, tenaga kami dipakai dimana-mana. Saya pernah freelancer di Garuda, Manulife dan beberapa dinas. Mengajar privat juga tak terhingga.

Di radio, kami yang pertama mengubah media pemutara lagu dari kaset dan CD ke komputer. Di Dinas Pendidikan yang baru membangun radio pendidikan, tenaga saya dipakai. Pokoknya mulai cerah lah. Saya bisa beli motor. Bisa nabung juga. Bisa investasi emas. Mulai makmur.

Lalu waktu berjalan sebagaimana linimasa pada masa itu. 2004 Aceh tsunami. NGO datang ke Aceh. Saya Kerja di NGO sekitar 3 tahun. Nabung lagi. Beli mobil. NGO selesai, dipercaya mengelola radio. Menikah. Lalu kemudian memilih buka usaha dan memiliki usaha sendiri seperti sekarang ini.

Titik tolak dari itu semua adalah ketinggalan pesawat itu. Dari sana, saya punya pegangan modal pertama dalam hidup, 1,5 juta itu. Tanpa uang itu, saya tidak tahu arah hidup kemana.  Saya memilih sebuah langkah tepat dari sebuah kesalahan memilih jam yang tepat untuk menuju bandara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun