"Selamat Datang AHY di Bumi Serambi Mekkah."
Itu tulisan yang terbaca di satu billboard di daerah Lamprit barusan. Tapi saya tak sedang ingin bicara soal AHY, tapi slogan Serambi Mekkahnya.
Sejak dua tahun lalu, slogan Serambi Mekkah yang beruratberakar kita kenal sebagai brand daerah kita di rebranding oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata menjadi The Light of Aceh (Cahaya Aceh). Walaupun saya memiliki beberapa teman di Disbudpar Aceh dan berteman pula di sosial media, namun saya tak akan sungkan mengatakan bahwa slogan tersebut adalah sebuah slogan yang --maaf-- gagal.
Setidaknya, diberagam kegiatan, kita masih bisa melihat orang-orang masih cenderung memakai identitas Aceh dengan Serambi Mekkah dibanding The Light of Aceh itu sendiri.
Kenapa demikian?
Karena tak ada nilai filosofis yang dapat dipertanggungjawabkan dalam slogan terbaru tersebut. Bahkan slogan tersebut dikreasikan oleh bukan orang Aceh dan --tentu saja-- menguatkan dugaan banyak orang, si pembuat jadi tak paham soal Aceh itu sendiri.
Serambi Mekkah, memiliki makna filosofis dan dikuatkan pula dengan unsur demografi dan geografi. Serambi Mekkah tak hanya mencerminkan bahwa Aceh adalah daerah yang menerapkan syariat Islam, yang merepresentasi Mekkah, dimana Islam berkiblat disana, namun juga secara geografis, Aceh adalah daratan terakhir yang dijumpai diwilayah Asia Tenggara sebelum mengarungi Samudera Hindia. Bahkan Pulau Rubiah pada era 1920an menjadi wilayah pendaratan pertama para jemaah haji dari kapal untuk melewati pemeriksaan kesehatan dan karantina, semakin menguatkan filosofi itu.
Sementara The Light of Aceh, hampir semua orang yang saya tanyakan, mengaku bingung, apa maksud The Light of Aceh itu sendiri.
Rebranding boleh-boleh saja. Namun, pelajarannya, tentu saja penting, melibatkan tim komunikasi yang memahami soal Aceh itu sendiri. Setidaknya, menggunakan sumber daya lokal lebih dulu, karena setidaknya kita akan tau siapa yang lebih paham.
Hal yang sama terjadi pada proses produksi audio-visual. Banyak sekali kesalahan yang terjadi manakala proses produksi tidak melibatkan orang-orang yang mengenal dan memahami dengan baik apa yang dilakukan, seperti seorang narator membaca dayah menjadi daiah, yang sebenarnya  bermakna negatif, atau membaca Syiah Kuala menjadi Syi'ah Kuala.