Hari masih pagi. Jam 04.45 WIB. Jalanan desa masih sepi. Namun, warga yang bertugas menjadi pengarak bangunan, bersiap di tempat masing-masing. Memoles dan memastikan semuanya selesai dengan rapi. Tinggal mengarak beragam aneka ornamen yang akan menjadi persembahan, menuju halaman gedung gereja di Mojowarno, Jombang.
Tak lama berlalu, rombongan tamu yang berasal dari luar kota ada yang sudah mulai datang. Baik dengan mobil atau bus-bus pariwisata.
Minggu, 11 Mei 205, pagi itu, warga Greja Kristen Jawi Wetan (GKJW) di sana punya hajat besar bernama Riyaya Undhuh-Undhuh. Hari Raya pesta panen ini merupakan tradisi turun-temurun yang sudah berjalan sejak 1930.
Pada awal mulanya, Hari Raya Undhuh-Undhuh (HRUU) ini dilaksanakan oleh 5 jemaat di Jawa Timur sebagai pionir. Sitiarjo di daerah Malang, dan Ngoro, Bongsorejo, serta Mojowarno di daerah Jombang.
Kini, warisan tradisi tersebut dilaksanakan pula oleh 181 Jemaat GKJW yang eksklusif geografisnya berada di provinsi paling timur di Jawa ini. Tentu berdasarkan ciri khas dan tata cara yang ada di lokasi masing-masing.
Kemeriahan lokalitas sebagai ciri khas yang dilakukan di sini, menjadikannya pada perayaan tahun 2013 silam mendapatkan sertifikat "Riyaya Undhuh-Undhuh Mojowarno sebagai Warisan Budaya Takbenda (WBTb)". Pengakuan ini diberikan oleh Kemendikbud (sekarang Kemendikbudristek) setelah menunggu persetujuan sejak 2019.
Perayaan Syukur
Sebagai masyarakat agraris, HRUU dapat dikatakan sebagai puncak dari ritus yang dijalankan sebelumnya. Hal ini dimulai dari upacara kebetan. Maklum lidah Jawa mengadopsi kata "gebed" menjadi "kebet". Istilah bahasa Belanda itu artinya "doa". Jadi para petani itu berdoa bersama sebelum memulai masa tanam.
Setelah padi berumur 36 hari, ada ritual lagi yang dinamakan "keleman". Kelem dalam bahasa Jawa berarti tergenang; menggenangi air pada sawah. Berharap kepada Tuhan agar memberikan kecukupan air terhadap padi yang sudah ditanam. Hingga masa panen tiba, mendapatkan hasil yang baik dan melimpah.