Dipicu oleh terbunuhnya Alawy murid berusia 15 tahun dari SMA Negeri 6 Kebayoran Baru Jakarta Selatan, saya jadi rajin menyimak tawuran murid-murid SMA, perguruan tinggi dan antar kampung dan desa. Bukan hanya perang antar suku di Papua yang sulit diredam oleh aparat kepolisian, perang antara murid usia remaja sampai dewasa, perang antar kampung di kota besar dan perang antar kampung di wilayah pedesaan ternyata banyak terjadi di Indonesia.
Benarkah alasan tawuran, perkelahian masal dan demo anarkis hanya karena alasan saling ejek, balas dendam, solidaritas kelompok bahkan untuk kasus Makassar para mahasiswa merusak sebuah restoran cepat saji demi "menegakkan keadilan" ?. Mestinya ada penyebab yang lebih mendasar yang juga mestinya tak sulit dicari bila mau. Bagi akademisi di universitas atau anggota DPR dan Kepolisian yang mungkin banyak diantaranya sedang menempuh sekolah magister dan doktor ilmu sosial, tema tawuran dan perang antar kampung mungkin menarik untuk dikaji.
Mengapa mereka sampai bertikai, mengapa mereka tak segan-segan menggunakan senjata tajam, balok, rantai sepeda, senapan angin dan bedil rakitan?. Sebilah celurit bila ditusukkan ke perut atau rongga dada, apa tidak fatal akibatnya bagi si korban? Sebuah pertanyaan besar sebenarnya, apa benar tak ada yang tahu akar permasalahan tawuran, bukankah di Jakarta ada beberapa Fakultas Psikologi, begitu banyak Fakultas Ilmu Sosial dan punya satu Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK). Di Makassar pusat studi sejenis tak kalah banyaknya, hanya PTIK yang tak ada.
Apa penyebab keributan yang kadang-kadang tak masuk akal sehat ini? Berikut ini sekilas apa yang saya lihat dan saya baca dari media televisi dan koran online maupun media cetak.
- Di Jakarta, ada sebuah kampung bernama Johar Baru, warganya kerap saling berkelahi antar RW. Penyebabnya biasanya hal sepele, cuma saling ejek diantara anak muda. Akar penyebab mungkin bila digali adalah kepadatan pemukiman di Johar Baru yang nyaris tak punya ruang terbuka hijau telah memicu stress penduduknya, ditambah lagi kondisi ekonomi yang kurang menggembirakan bagi sebagian warganya, menganggur, setengah menganggur atau penghasilan pas-pasan.
- Di Sigi, Sulawesi Tengah perang antar kampung, benar-benar seperti perang sungguhan, salah satu pihak terlihat (di televisi) menyandang senapan (angin dan rakitan), selain senjata tajam, panah dan katepel. Pemicunya gara-gara ulah sejumlah pemuda mabuk asal Desa Padende yang menghadang warga Binangga yang selanjutnya memicu bentrokan antarwarga.
- Di Lampung Timur juga baru saja terjadi -28 September 2012- desa Pematang Halo diserbu warga desa Umbul Tebu, penyebabnya akibat dua begal motor yang warga Umbul Tebu ditangkap warga Pematang Halo dan dibakar sampai tewas.  Akibat perang desa di Kecamatan Jabung ini, 12 rumah dibakar, 15 rumah rusak berat dan tiga warga Pematang Halo terkena luka tembak. Nah ternyata perang antar desa ini juga menggunakan senjata api, mungkin senjata rakitan yang biasa dipakai untuk berburu babi hutan.
- Di Makassar masih terbayang dalam benak saya, pada sebuah siaran berita di televisi mahasiswa sebuah universitas di Makassar menutup SPBU, mengisi BBM kendaraan mereka tanpa bayar, waktu mendemo rencana kenaikan harga BBM beberapa bulan lalu. Belum seminggu lalu sebuah restoran cepat saji dilempari batu karena tak mau meliburkan restorannya selama waktu yang "diperintahkan" mahasiswa kepada pengelola restoran tersebut. Tawuran antar fakultas juga sering terjadi di Makassar.
- Di Jakarta pun ada dua perguruan tinggi swasta bertetangga di Jalan Diponegoro, berhadapan dengan RSUP Nasional Dr Cipto Mangunkusumo. Entah berapa kali mereka tawuran, mengorbankan sekian orang terluka, bangunan rusak, sekian banyak mobil terbakar dan sudah pasti kemacetan lalu lintas dan kurang ajarnya mereka berbuat onar di depan Rumah Sakit rujukan nasional.  Tak beradabkah mereka?
- Di Jakarta tawuran antar murid SLTA yang masih hangat adalah tewasnya Alawy, murid SMA 6 Kebayoran Baru akibat serangan sekelompok murid SMA 70 saat si korban dan teman-temannya sedang makan siang di dekat sekolahnya. Belum kering airmata menangisi Alawy, Deni Yanuar murid SMA Yayasan Karya 66 dicelurit oleh murid SMK Kartika Zeni dalam sebuah serangan ala tawuran murid sekolah, alasannya dendam antar sekolah. Tawuran murid SMA di Kebayoran baru bahkan sudah berlangsung sekitar 40 tahun. Bayangkan 40 tahun tawuran tak dapat dihentikan oleh instansi pendidikan dan aparat kepolisian, luar biasa. Mungkin pelaku tawuran di Kebayoran Baru sekarang ada yang sudah jadi pejabat, bintang film, wakil gubernur, jenderal dan sudah memiliki anak-anak usia SMA dan mahasiswa.
- Di Bogor, Bekasi, Tangerang, Depok, tawuran antar murid SLTA dan SLTP bukan hal aneh. Saking biasanya tawuran kelihatannya tak dibasmi secara sistematis. Polisi dan pihak sekolah hanya bertindak bak pemadam kebakaran.
Perlukah menunggu studi akademis dari para calon sarjana, magister dan doktor atau menunggu masukan dari ahli psikologi massa, kriminolog dan kalangan ahli ilmu sosial? Meneliti kasus secara akademis boleh saja, tapi rasanya para Kepala Sekolah, pejabat Dinas Pendidikan, Kepala Kepolisian Resor dan Walikota setempat cukup menggunakan akal sehat saja.
Tindak tegas dan keras pelaku tawuran, baik dia remaja maupun orang dewasa. Bila perlu, apa boleh buat kirim para perusuh ke penjara. Murid dan mahasiswa yang jadi otak kerusuhan dipecat. Bila terbukti membunuh, terapkan pasal pembunuhan, jangan biarkan bibit kriminal bersemi di lingkungan kampung, sekolah SMP, SMA apalagi universitas. Upaya persuasif bertahun-tahun gagal, saatnya tangan besi terkendali diterapkan, hukum ditegakkan.