Tulisan bagian pertama : https://www.kompasiana.com/hemanelia/68d4f7f934777c574b1d3873/korupsi-mustahilkah-diberantas
Tulisan kali ini melanjutkan refleksi saya tentang korupsi, yang berawal dari percakapan dengan dengan seorang supir pribadi.Â
Sang supir secara terus terang mengakui ketidakjujurannya untuk menyatakan bahwa korupsi tidak mungkin lenyap dari kehidupan sosial kita. Dia yakin, pemimpin politik mustahil bersih dari korupsi.
Dari kisah itu, saya lalu mencoba menghubungkannya dengan yang terjadi saat ini. Ketika terjadi penangkapan oleh aparat hukum yang menyasar pada pejabat pelaku korupsi, saya kembali bertanya kepada diri sendiri, apakah benar korupsi mustahil diberantas sebagaimana kesimpulan sang supir? Untuk mengujinya, setiap saya membaca berita atau menonton televisi menyangkut korupsi, saya selalu bertanya, apa yang mendorongnya melakukan korupsi.
Jika kita amati, ada beberapa pola berulang dalam respons para tersangka korupsi. Pertama, pembelaan diri. Polanya hampir sama. Ada yang menyangkal keras, bahkan dengan berapi-api. Bahkan dengan menyertakan nama Tuhan. "Tuhan tidak tidur," demikian teriakan mereka. Seolah aparat hukum salah menangkap orang yang tidak bersalah. Atau, menyangkal bahwa mereka telah melakukan korupsi, padahal aparat hukum memiliki bukti-bukti sah tindak pidana mereka.
Penyangkalan juga bisa dengan sikap seolah-olah tidak tahu apa yang terjadi. Pura-pura heran mengapa mereka ditangkap.
Kedua, meminta maaf. Sebagian mereka langsung meminta maaf kepada publik. "Khilaf," demikian mereka beralasan. Padahal nilai korupsinya sering kali mencengangkan, jauh dari sekadar khilaf.
Ketiga, tersenyum-senyum, memperlihatkan bahwa mereka baik-baik saja. Bahkan ada yang masih berani mengangkat 2 jempol dengan 2 tangan terbelenggu.
Tiga pola ini memperlihatkan tidak adanya rasa malu dan bersalah. Rasa malu muncul ketika kemunafikan terbongkar. Ini adalah perasaan tidak enak ketika berhadapan dengan khalayak banyak. Rasa bersalah adalah kegelisahan yang muncul karena telah melakukan kejahatan.
Kalau saja tersangka memperlihatkan rasa malu dan bersalah, kita dapat berharap pertobatan. Mereka jera dan tidak lagi berani mengulang perbuatannya di masa depan.
Namun dengan kelakuan seperti ini, kita bisa pastikan bahwa koruptor masih bisa berpesta ria selepas penjara. Sama seperti pembicaraan saya dengan sang supir. Ia menceritakan ketidakjujurannya tanpa merasa bersalah dan malu, seolah apa yang dilakukannya itu normal-normal saja. Ia tahu bahwa perilakunya adalah korupsi. Penghidupannya juga cukup. Tapi dia seperti tidak mengenal puas.