Mohon tunggu...
Helenerius Ajo Leda
Helenerius Ajo Leda Mohon Tunggu... Buruh - Freedom

Borjuis Mini dan Buruh Separuh Hati

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

New Normal dan Manajemen Risiko

1 Juni 2020   22:56 Diperbarui: 1 Juni 2020   22:55 1184
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Pemberlakuan kebijakan new normal sebagai upaya menggerakan kelesuan ekonomi ditengah kondisi pandemi corona yang belum menunjukan perbaikan apakah relevan diberlakukan? Setidaknya ada dua kubu yang berbeda pendapat (pro-kontra) terkait dengan hal ini. 

Bagi yang bersepakat berargumen bahwa, pilihan untuk memulihkan ekonomi merupakan jalan yang harus dilalui agar kondisi ekonomi bisa stabil kembali. Pasalanya, angka pertumbuhan ekonomi Indonesisa pada kuartal I 2020 hanya mencapai 2,97 persen dan diprediksi akan terus menurun ke 2,3 persen. 

Penurunan ini disinyalir akibat sejumlah kebijakan untuk memutus matarani peyebaran virus corona, seperti physical distancing, WFH, dan PSBB (tirto.id, Mei 2020). Dengan demikian menurut mereka, kesehatan yang baik membutuhkan kondisi ekonomi yang baik pula, sehingga pemberlakuan new normal adalah imperatif kategoris untuk menggerakan kembali ekonomi yang lesu.

Disisi lain, bagi pihak yang kontra berargumen kondisi kesehatan harus diutamakan dari pada pemulihan ekonomi. Pasalnya, angka jumlah pasien terinfeksi virus corona terus bertambah. Data terakhir per 1 Juni 2020 menunjukan bahwa pasien terinfeksi virus corona bertambah 467 orang, sehingga total kasus menjadi 26.940 kasus. 

Sementara angka kematian bertambah 28 orang, sehingga total kematian 1.641 orang, sedangkan pasien yang sembuh meningkat 329 menjadi 7.637 orang (katadata.com, Juni 2020). Demikian menurut mereka, kematian akibat corona tidak bisa dihidupkan lagi, sementara keterpurukan ekonomi masih bisa digerakan. 

Begitulah kira-kira kontorversi pendapat atas kebijakan new normal yang bermunculan dan menghiasi ruang-ruang diskursus publik akhir-akhir ini.

Dua spektrum pendapat yang berbeda ini memang dilematis. Artinya jika abai pada salah satu bagian tentu akan memperpuruk bagian yang lainnya. Kebijakan new normal disinyalir berangsur-angsur dapat memulihkan kembali perkonomian yang digulung pandemi corona, namun potensi resiko peningkatan kasus positif corona disinyalir dapat terjadi. 

Ibarat dua sisi mata uang, mau tidak mau semua bagian harus berjalan beriringan dan berbarengan. Karena tentunya kita tidak menginginkan negara kita menjadi failed state akibat ancaman virus corana yang terus merongrong kita.

Menurut penulis situasi dilematis ini mau tidak mau harus dilakukan dengan menerapkan manajemen resiko secara radikal baik struktural maupun kultural.

Oleh karena itu tulisan ini ingin memberikan gambaran secara singkat tentang bagimana manajemen resiko yang diakibatkan oleh virus corona. Untuk mencapai tujuan itu, penulis mengunakan perspektif fungsional struktural yang diperkenalkan oleh Talcot Parson. Sebelum membahas inti sari perspektif fungsionalisme struktural, terlebih dahulu penulis menggambarkan secara ringkas arti dan definisi manajemen resiko.

Terminologi manajemen resiko digunakan dalam berbagai macam disiplin ilmu pengetahuan. Hinsa Siahaan (2009, hal) secara ringkas menjelaskan manajemen resiko sebagai "sebuah perbuatan (praktik) dengan pemanajemen resiko, menggunakan metode dan peralatan untuk mengolah resiko sebuah proyek". 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun