Mohon tunggu...
Helen Amelia
Helen Amelia Mohon Tunggu... Mahasiswa

Saya suka bermake-up dan saya senang berolahraga badminton

Selanjutnya

Tutup

Financial

Peran Akuntansi Forensik dalam Mengatasi Cyber Fraud: Strategi Perlindungan Data Keuangan di Era Digital

7 Oktober 2025   13:22 Diperbarui: 7 Oktober 2025   13:22 10
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Finansial. Sumber ilustrasi: PEXELS/Stevepb

Di era digital yang semakin terhubung, sektor keuangan menghadapi ancaman cyber fraud yang semakin canggih dan merusak. Cyber fraud, yang mencakup berbagai bentuk penipuan berbasis teknologi seperti phishing, ransomware, dan pencurian data identitas, telah menyebabkan kerugian global mencapai triliunan dolar setiap tahunnya. Menurut laporan dari Cybersecurity Ventures, kerugian akibat cybercrime diproyeksikan mencapai 10,5 triliun dolar AS pada tahun 2025. Di Indonesia, Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) mencatat peningkatan serangan siber sebesar 20% pada tahun 2023, dengan sektor perbankan dan fintech menjadi target utama. Dalam konteks ini, akuntansi forensik muncul sebagai disiplin ilmu krusial yang tidak hanya mendeteksi penipuan keuangan konvensional, tetapi juga beradaptasi untuk melindungi data keuangan dari ancaman siber. Akuntansi forensik, yang menggabungkan prinsip akuntansi, audit, dan investigasi hukum, memungkinkan para profesional untuk menganalisis jejak digital transaksi keuangan, sehingga mencegah dan memulihkan kerugian akibat cyber fraud. Artikel ini akan membahas peran akuntansi forensik dalam mengatasi ancaman siber, dengan fokus pada strategi perlindungan data keuangan dan adaptasi forensik untuk keamanan informasi.

Ancaman siber terhadap data keuangan semakin kompleks seiring dengan kemajuan teknologi. Phishing, misalnya, sering kali menargetkan karyawan bank atau pengguna aplikasi fintech melalui email palsu yang meminta verifikasi data sensitif, seperti nomor rekening atau PIN. Ransomware, di sisi lain, mengenkripsi data keuangan perusahaan dan menuntut tebusan dalam bentuk cryptocurrency, yang sulit dilacak. Data breach, seperti yang terjadi pada kasus Equifax pada 2017 yang memengaruhi 147 juta orang, menunjukkan bagaimana peretas dapat mencuri informasi keuangan untuk dijual di dark web. Di Indonesia, serangan terhadap Bank Mandiri pada 2022 menyoroti kerentanan sistem perbankan digital, di mana data nasabah hampir saja bocor. Ancaman ini tidak hanya menyebabkan kerugian finansial langsung, tetapi juga merusak kepercayaan publik terhadap institusi keuangan. Menurut PwC's Global Economic Crime Survey 2022, 46% organisasi melaporkan mengalami fraud digital, dengan dampak terbesar pada sektor keuangan. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan proaktif yang melibatkan akuntansi forensik untuk mengidentifikasi pola anomali dalam transaksi digital sebelum kerusakan terjadi.

Akuntansi forensik memainkan peran sentral dalam mengatasi cyber fraud melalui pendekatan investigatif yang sistematis. Berbeda dengan akuntansi konvensional yang fokus pada pelaporan historis, akuntansi forensik menggunakan teknik forensik digital untuk merekonstruksi peristiwa cybercrime. Para akuntan forensik dilatih untuk menganalisis log transaksi blockchain, metadata file keuangan, dan pola akses data menggunakan perangkat lunak seperti ACL Analytics atau IDEA. Dalam kasus cyber fraud, mereka dapat mendeteksi transaksi mencurigakan, seperti transfer dana yang tidak wajar melalui wallet kripto, dengan menerapkan model Benford's Law untuk mengidentifikasi distribusi angka yang tidak alami. Selain itu, akuntansi forensik berkolaborasi dengan tim IT forensik untuk memulihkan data yang hilang dan menyusun bukti hukum yang dapat digunakan di pengadilan. Di era digital, adaptasi ini mencakup integrasi dengan kerangka seperti NIST Cybersecurity Framework, yang menekankan identifikasi, proteksi, deteksi, respons, dan pemulihan. Dengan demikian, akuntansi forensik tidak hanya reaktif, tetapi juga proaktif dalam membangun lapisan pertahanan keamanan informasi.

Strategi perlindungan data keuangan melalui adaptasi akuntansi forensik dimulai dengan penerapan analisis data prediktif. Menggunakan kecerdasan buatan (AI) dan machine learning, akuntan forensik dapat memprediksi potensi serangan siber dengan menganalisis pola perilaku pengguna. Misalnya, algoritma AI dapat mendeteksi anomali seperti login dari lokasi tidak biasa atau transaksi berfrekuensi tinggi yang menandakan botnet. Di Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mendorong bank untuk mengadopsi sistem seperti ini melalui Peraturan OJK Nomor 12/POJK.03/2021 tentang Penerapan Teknologi Informasi oleh Bank Umum. Selain itu, blockchain technology menjadi alat adaptasi forensik yang kuat, karena ledger terdistribusinya memungkinkan pelacakan transaksi yang immutable, sehingga sulit dimanipulasi oleh peretas. Akuntan forensik dapat menggunakan smart contracts untuk otomatisasi audit real-time, di mana setiap transaksi keuangan diverifikasi secara independen. Contohnya, platform seperti IBM Blockchain for Finance telah diintegrasikan oleh beberapa bank global untuk mendeteksi fraud kripto. Strategi lain melibatkan pelatihan karyawan melalui simulasi cyber fraud, di mana akuntansi forensik menyediakan skenario berbasis data nyata untuk meningkatkan kesadaran. Selain itu, kerjasama antarlembaga, seperti antara BSSN dan Ikatan Akuntan Indonesia (IAI), dapat memperkuat protokol forensik nasional.

Meskipun demikian, adaptasi akuntansi forensik menghadapi tantangan signifikan. Pertama, kekurangan tenaga ahli di Indonesia, di mana hanya sedikit akuntan yang bersertifikasi Certified Fraud Examiner (CFE) dengan spesialisasi digital. Menurut survei IAI 2023, kurang dari 10% akuntan memiliki keterampilan forensik siber. Kedua, regulasi yang belum selaras, seperti ketergantungan pada Undang-Undang ITE yang masih perlu diperkuat untuk menangani cyber fraud lintas batas. Ketiga, biaya implementasi teknologi tinggi, yang membebani UMKM dan fintech kecil. Untuk mengatasi ini, rekomendasi mencakup pengembangan kurikulum pendidikan akuntansi forensik di universitas, seperti yang dilakukan oleh Universitas Indonesia dengan program sertifikasi digital forensics. Selain itu, pemerintah dapat mendorong insentif pajak untuk adopsi AI dalam audit forensik. Studi kasus dari Singapura, di mana Monetary Authority of Singapore (MAS) menerapkan framework forensik berbasis AI, menunjukkan penurunan fraud sebesar 30% dalam dua tahun. Di Indonesia, penerapan serupa pada Bank Syariah Indonesia (BSI) telah berhasil mendeteksi upaya phishing yang menargetkan 500.000 nasabah pada 2023.

Pada akhirnya, peran akuntansi forensik dalam mengatasi cyber fraud adalah kunci untuk menjaga integritas data keuangan di era digital. Dengan adaptasi strategi seperti AI, blockchain, dan analisis prediktif, disiplin ini tidak hanya melindungi aset finansial, tetapi juga memperkuat kepercayaan ekonomi nasional. Namun, keberhasilan bergantung pada komitmen kolaboratif antara profesional akuntansi, regulator, dan teknologi. Di tengah ancaman siber yang terus berkembang, akuntansi forensik harus terus berevolusi, memastikan bahwa keamanan informasi menjadi prioritas utama dalam ekosistem keuangan. Hanya dengan pendekatan holistik ini, Indonesia dapat meminimalkan risiko cyber fraud dan mendukung pertumbuhan ekonomi digital yang berkelanjutan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun