Mohon tunggu...
Ein A. Gilingan
Ein A. Gilingan Mohon Tunggu... -

170 cm, sawo matang, rambut oval

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

AFI 2016: dari Jakarta ke Manado

25 Juni 2016   20:05 Diperbarui: 25 Juni 2016   20:12 86
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


AJANG  bagi film dalam negeri bertajuk Apresiasi Film Indonesia (AFI) besutan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) kembali digelar. Tahun  ini untuk kelima kalinya, dihelat 8-9 Oktober 2016 di Manado, ibu negeri Sulawesi Utara.

Lantaran lokasi pelaksanan AFI 2016, sebagai warga Manado, saya wajib membuat catatan ‘penyambut’ untuk ajang spektakuler ini. Bahwa, keputusan Kemendikbud menetapkan Manado menjadi lokasi pelaksanaan AFI 2016 telah keluar dari ‘adab’ kegiatan (baca : penghargaan) terhadap industri film Indonesia selama ini.

Sebab biasanya, selama ini Manado tidak masuk dalam kategori ‘tepat dan pas’ bagi pelaksanaan ajang yang dijejali oleh para sineas dan bintang film. Selalu Jakarta, Bandung, Surabaya, Yogjakarta, dan…kota-kota yang dianggap berkategori standar untuk pelaksanaan sebuah hajatan penuh kerlap-kerlip kehidupan metro. Dan Manado… tidak masuk dalam kategori atau standar itu.

Pilihan lokasi pelaksanaan AFI 2016 di Manado, yang jauh dari hingar-bingar industri perfilman Indonesia, menimbulkan rasa gembira dan sekaligus was-was bagi saya. Apakah AFI kelima pada 8-9 Oktober 2016, akan sehingar AFI tahun-tahun sebelumnya? Belum ada jaminan, baik kualitas pelaksanaan maupun kualitas apresiasi pemerintah dan masyarakat Sulawesi Utara. Sebab pemerintah dan masyarakat Sulawesi Utara secara umum --setahu saya, jika disuguh karya seni serius--, rendah keinginan untuk melakukan apresiasi. Dengan jumlah penduduk hamper dua juta, Sulut hanya punya dua gedung bioskop mentereng; selebihnya bioskop lama, itu pun di luar Manado yang --entah karena alasan apa, saya belum tahu persis-- mampu bertahan hingga saat ini.

Seamatan saya selama tiga dasa warsa berjalan, seni di Sulawesi Utara hanya penghias acara-acara seremoni pemerintah. Seni yang bertahan di tengah masyarakat Sulawesi Utara selama ini, tumbuh dengan fisik yang lunglai, tanpa gizi, tanpa vitamin. Seni yang tumbuh bergegap dari tahun ke tahun, justeru adalah seni (paduan) suara gereja; yang ditumbuh kembang mengandalkan  kekuatan gereja sebagai institusi, terutama di kalangan GMIM. Festival paduan suara, hampir tiap bulan digelar. Di lingkup internal GMIM ada manfaatnya, tetapi hampir tidak ada faedah bagi masyarakat banyak. Suguhan panggung hanya dinikmati oleh kalangan jemaat  GMIM karena performa kelompok paduan suara hanya dapat ditonton di altar gereja.

Dan teater? Hidup tak mau, mati pun segan. Jika teater di Sulut masih hidup, itu karena masih ada pegiat seni teater yang mampu meluangkan waktu guna membujuk satu dua sponsor karena materi memang sudah siap. Teater Ungu besutan kampus IKIP (sekarang Unima) sudah ‘keluar’ area dan hingga kini masih bertetap menggelar festival. Syukur, Sanggar Kreatif Manado tetap berumur panjang, dirawat baik-baik oleh salah satunya pendirinya, penyair Iverdixon Tinungki.

Saya tidak pernah menemukan dalam APBD Sulut melalui pos Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Sulut tercantum pos anggaran khusus seni budaya yang disiapkan pemerintah untuk rutin digelar festival teater. Jika ada anggaran untuk kebudayaan dan seni, pastinya bukan untuk lebih memarakkan pesntas seni, melainkan untuk pembiayaan sesuatu yang tidak penting atas nama seni dan kebudayaan. Sampai hari ini, Taman Budaya Sulut tak lebih dari deret gedung yang sama sekali tidak mencahayakan pijar seni dan budaya di Sulawesi Utara.

Hampir tidak ada film yang digarap oleh orang yang berdomisili di daerah padahal potensi ‘local content’ sangat kaya, kecuali TVRI yang masih bertahan memroduksi film televisi (FTV) atau sinema elektronik pendek guna disertakan pada lomba di Jakarta. Pemerintah di provinsi maupun kabupaten/kota tidak pernah berperhatian untuk hal seperti itu, kendati ada seniman yang sudah menginisiasi. Persatuan Artis Film Indonesia (Parfi) cabang Sulawesi Utara tak berdaya kendati pengurusnya diisi oleh anak-anak pejabat. Dewan Kesednian Sulut yang strukturnya dikerumuni politisi-pejabat, hanya jadi pajangan semata-mata, tampak wajah tapi hampir tak punya tangan untuk bekerja.

Welakin begitu, promosi pariwisata ke luar negeri, pemerintah tetap mengandalkan seni serius, terutama seni tari dan kemudian seni (paduan) suara. Seni pentas dan film yang dipaksakan tumbuh oleh kaum seniman dan seniwati ‘jalanan’ dengan modal dengkul, tidak pernah diperhitungkan oleh pemerintah untuk menjadi media promosi daerah. Kendati di pentas nasional , mislanya Sanggar Kreatif Manado (SKM) yang dipelihara selama ini oleh penyair Indonesia Iverdixon Tinungki dengan segala daya, tahun ini memukau warga TIM dengan suguhan pentas yang dikreasi oleh anak-anak zaman kini.

Kembali lagi ke soal pelaksanaan AFI 2016 di Manado. Lepas dari lunglainya pengembangan seni yang dibarengi tidak adanya dukungan serius dari pemerintah (daerah) terhadap kreativitas seniman di Sulawesi Utara, Manado telah dinobatkan menjadi lokasi pelaksanaan kelima kali AFI. Ikhwal aspek kualitas pelaksanaan AFI 2016, itu soal nanti. Begitu Gubernur Sulut, Olly Dondokambey, membubuh tanda tangan di atas lembaran memorandum of understanding dengan Kemendikbud pada Jumat, 10 Juni 2016 soal pelaksanaan AFI 2016 di Manado, adalah sebuah fakta bahwa Manado disepakati menjadi kota berkategori layak untuk perhelatan ajang spektakuler semacam AFI.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun