Mohon tunggu...
Rahmi H
Rahmi H Mohon Tunggu... Guru - Peskatarian

Ngajar | Baca | Nulis Kadang-Kadang Sekali

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Hijrah yang Bagaimana?

21 September 2017   15:36 Diperbarui: 21 September 2017   15:44 1601
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tahun baru Islam (1 Muharram 1439 Hijriyah), tak dirayakan sebagaimana umat manusia menyambut tahun baru Masehi (1 Januari), namun beberapa kalangan (bahkan yang bukan Islam) terkesan "bergembira" menyambut tahun baru ini dengan berbagai ucapan selamat dan ungkapan sukacita.

Bulan Muharram identik dengan hijrah. Hijrah bisa artikan sebagai perpindahan. Kata ini merujuk pada migrasi kaum muslim bersama Muhammad dari Madinah ke Makkah, juga beberapa peristiwa migrasi/perpindahan lainnya. Berbagai latar belakang mengharuskan kaum muslim pada waktu itu untuk melakukan hijrah, salah satu diantaranya adalah "gangguan" Kaum Quraisy yang tidak ingin berkompromi dengan ajaran Muhammad.

Lalu, bagaimana kita memaknai hijrah pada zaman ini. Apakah perlu berhijrah ketika beberapa orang di sekeliling berbeda keyakinan dengan kita? Apakah harus berhijrah karena ada kalangan lain yang kurang sepikiran dengan kita? Ataukah perlu berhijrah jika kebebasan berucap dibatasi? Apakah perlu berhijrah ketika ada yang memerangi?

Seluas apakah pemahaman kita terhadap konsep hijrah saat ini, yang pada kenyataannya sangat berbeda dengan zaman Nabi. Amat beragam tentunya. Ada yang mengubah tampilan pakaian lalu mengaku hijrah, adapula yang tobat seketika dan bertekad hijrah, tak sedikit juga yang menempuh jalan sunyi lantas bersikukuh sedang hijrah, tapi apapun persepsi yang kita bangun tentang hijrah, toh, itu semata hasil pemahaman dan penafsiran kita sendiri.

Perlu dicermati adalah, hasil atau efek sosial apa yang dimunculkan dari persepsi atau tindakan hijrah yang kita bangun. Ingat, Muhammad berhijrah tidak untuk kepentingan pribadi beliau, tetapi semata demi kesejahteraan dan keamanan kaum muslim.

Lantas, apakah hijrah kita, yang mungkin saja masih sebatas niat ataukah telah teraktualisasi, memiliki nilai sosial ataukah hanya untuk memuaskan nafsu pribadi kita akan suburnya pahala dan keindahan surga yang memang menggiurkan. Ataukah hijrah kita masih sebatas ucapan dan bukan tindakan? Masih sebatas penampilan dan bukan pekerjaan?

Bertumpuknya masalah-masalah sosial, terstrukturnya sistem pembodohan terhadap publik, liciknya para intelektual, munculnya sosok-sosok agamawan instan, dan sebagainya, mungkin bisa menjadi dasar untuk membangkitkan konsep hijrah yang sesungguhnya di zaman ini.

Masih inginkah kita bertahan di situasi yang sebetulnya gemar mempermainkan pikiran dan gagasan kita tentang kenyataan-kenyataan sosial. Mestinya konsep hijrah bisa dipahami sebagai upaya membentuk cara pandang kita ke arah yang lebih kritis, logis dan sesuai dengan kebutuhan sosial kita sendiri. Mampukah kita berhijrah secara murni, dimulai sejak dalam niat, pikiran, jiwa, hati hingga tingkah laku kita setiap hari.

Kamis, 1 Muharram 1439 Hijriyah

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun