Mohon tunggu...
Budi Hatees
Budi Hatees Mohon Tunggu... Editor - Penulis

Budi Hatees seorang pecinta buku, menulis menjadi satu-satunya medium berbagi.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Aku di Kota yang Kecil Saja...

16 Januari 2019   11:47 Diperbarui: 16 Januari 2019   11:56 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Sudah lama aku tinggalkan Provinsi Sumatra Utara.  Aku dilahirkan di Kota Sipirok, ibu kota Kabupaten Tapanuli Selatan, Provinsi Sumatra Utara. Sejak 1991, aku -- seperti juga kebanyakan orang Sumatra Utara -- memilih merantau. Menjadi "manusia yang merantau" bukan warisan budaya, tapi kebiasaan yang diturunkan leluhurku.  Dulu, leluhurku lahir dari rahim Siti Hawa, lalu ia tinggalkan kampungnya di jazirah Arab, dan terdampar di Kota Sipirok. Jadilah soal rantau-merantau itu ada di darahku. 

Tahun 2017 akhir, aku pulang ke kampungku sambil berteriak-teriak agar "jangan merantau". Tentu saja aku ditertawakan. Kalau saja aku tidak merantau, lalu teriak-teriak "jangan merantau', aku yakin pasti ditertawakan. Aku seorang perantau, lalu teriak "jangan merantau', ternyata tetap ditertawakan. Jadi, aku pikir, orang mentertawakan aku bukan karena aku teriak "jangan merantau', melainkan karena mereka memang gemar menertawakan hal-hal yang disampaikan orang lain. 

Karena semua orang menertawakan, aku putuskan tidak tinggal di Kota Sipirok, tapi 5 km dari kota itu, yakni Kota Padang Sidempuan. Ternyata pula, di Kota Padang Sidempuan ini, orang tak hanya gemar mentertawakan orang lain, tapi suka "mengukur" kemampuan dan kapasitas orang lain dengan alat ukur yang diciptakannya sendiri. tentu, alat ukur itu hanya menyenangkan dirinya.

Kota Padang Sidempuan sebuah kota yang kecil saja sehingga keluh-kesah di dalam dapur rumah seseorang bisa terdengar di rumah orang lain. Di sini ada pemerintah, dipimpin Wali Kota Padang Sidempuan. Beda umurku dengan dia cuma dua tahun, lebih tua dia. Aku kenal dia meskipun tidak akrab. Tapi itu tidak penting, karena Wali Kota itu membuat batas antara pemimpin dengan rakyat menjadi sangat tegas. Yang satu berada di puncak tangga struktur manusia, lainnya berada di tangga di mana pemandu sorak berdiri dan berteriak-teriak. 

Inilah yang aku sebut soal "mengukur" di atas. Orang di Kota Padang Sidempuan gemar melihat "siapa yang bicara" dan bukan "apa yang dikatakan orang itu". Kalau membeli buku, orang di Kota Padang Sidempuan ini hanya akan melihat sampul dan tidak perduli pada isi. Dan, mungkin, setelah membeli buku, mereka tidak akan mau menghabiskan waktu untuk membacanya.

Di Kota Padang Sidempuan ini, ada banyak perguruan tinggi, tapi nyaris semua perguruan tinggi menghasilkan sarjana pendidikan, tenaga kesehatan, , dan sarjana sosial. Tidak ada produksi sarjana teknik.  Tidak heran bila dunia pekerjaan di Kota Padang Sidempuan sangat minim daya tampungnya, jauh lebih banyak produksinya. Sarjana pendidikan melimpah, tapi lembaga pendidikan  tidak bertambah. Lembaga yang ada saja memiliki kecenderungan berkurang, terutama kualitasnya.  Guru honorer bertambah, tapi penghasilan mereka berkurang. Tiap guru honorer hanya memperoleh uang tidak lebih Rp300.000 sebulan. Itu pun karena kemurahan hati kepala sekolah.

Kalimat "kemurahan hati kepala sekolah" ini sering membikin aku muak. Orang bekerja, mengeluarkan energi, dibayar dengan honor. Eh, masih dibilang kemurahan hati.  Tap mereka, para guru honor, tidak keberatan karena tidak ada pilihan lain. 

Begitulah, di Kota Padang Sidempuan, banyak yang membikin aku prihatin. 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun