Perkembangan artificial intelligence (AI) telah menjadi fenomena global yang memengaruhi hampir seluruh sektor kehidupan manusia. Di dunia kerja, AI menciptakan efisiensi baru melalui otomatisasi dan analisis data berskala besar. Namun, kemajuan ini juga menimbulkan kekhawatiran akan hilangnya lapangan kerja tradisional. Menurut Marguerit (2025), perkembangan AI yang bersifat otomatisasi dapat menekan upah dan mengurangi pekerjaan bagi tenaga kerja berkeahlian rendah, sementara AI yang bersifat augmentasi justru meningkatkan produktivitas dan membuka pekerjaan baru bagi tenaga profesional. Hal ini menunjukkan bahwa dampak AI tidak bersifat tunggal, melainkan bergantung pada konteks sosial dan ekonomi masing-masing negara.
Di sisi lain, beberapa penelitian menegaskan bahwa AI bukan hanya menggantikan manusia, melainkan juga melengkapi kemampuan manusia. Resh et al. (2025) menyoroti bagaimana penggunaan AI generatif di sektor publik Amerika Serikat justru menciptakan kebutuhan baru dalam keterampilan analitis, komunikasi, dan pengelolaan data. Sementara itu, Ozer et al. (2024) menilai bahwa era AI dapat menciptakan keseimbangan baru antara produktivitas dan kesejahteraan kerja, termasuk peluang menuju waktu kerja yang lebih singkat tanpa menurunkan hasil ekonomi. Dengan demikian, AI membuka jalan menuju transformasi pekerjaan yang lebih bermakna, selama pekerja mampu beradaptasi dengan perubahan tersebut.
Meski demikian, adopsi AI juga menimbulkan tantangan serius bagi kebijakan ketenagakerjaan. Mako et al. (2021)mengungkapkan bahwa munculnya pekerjaan berbasis platform digital memperlemah perlindungan tenaga kerja tradisional, seperti yang terlihat pada kasus Uber di Hungaria. Selain itu, Galdon Clavell dan Gonzlez-Sendino (2024)menunjukkan bahwa regulasi baru seperti NYC Local Law 144 mulai menuntut audit independen untuk memastikan bahwa sistem AI dalam perekrutan tidak menimbulkan diskriminasi. Dengan adanya regulasi semacam ini, keseimbangan antara efisiensi teknologi dan keadilan sosial dapat lebih terjamin.
Akhirnya, masa depan dunia kerja di era AI tidak bisa dipandang hanya sebagai ancaman atau peluang semata. Sebagaimana disimpulkan oleh Necula (2023), tenaga kerja masa depan harus memiliki kemampuan analisis, komunikasi, dan adaptasi yang tinggi agar dapat bekerja berdampingan dengan teknologi. Dengan kebijakan yang berpihak pada pengembangan sumber daya manusia dan pembelajaran seumur hidup, AI dapat menjadi alat untuk menciptakan lapangan kerja baru, bukan menghancurkannya. Dunia kerja yang cerdas bukan berarti tanpa manusia, tetapi justru menempatkan manusia sebagai pusat inovasi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI