Malam minggu selalu menjadi waktu paling hidup di Yogyakarta. Bukan cuma Malioboro yang penuh, tapi hampir di tiap sudut kota---warung, angkringan, hingga kafe-kafe kekinian---dipadati wajah-wajah muda yang ingin sekadar mengobrol, melepas penat, atau cari suasana.Di antara banyak pilihan tempat ngopi, saya akhirnya memutuskan mampir ke Cosan Caffe cabang Demangan, sebuah spot ngopi yang akhir-akhir ini terus dibicarakan teman-teman saya. Katanya, kopi susu di sini bukan kaleng-kaleng. Ada yang bilang ini versi "dewasa" dari kopi susu kekinian---lebih halus, nggak terlalu manis, tapi tetap ngena.
Sekitar pukul 19.45 saya tiba di lokasi. Benar saja, parkiran motor dan mobil sudah padat. Beberapa pengunjung bahkan terlihat menunggu di luar, sambil berdiri atau duduk-duduk di pinggiran trotoar. Dari luar, bangunan Cosan Demangan tampak minimalis dan bersih, khas gaya modern industrial. Dinding kaca memperlihatkan pemandangan dalam: penuh. Hampir tidak ada bangku kosong.
Namun saya memutuskan tetap masuk. Mumpung sudah sampai.
Ruang Padat, Tapi Tetap Nyaman
Begitu masuk, suasana langsung terasa berbeda. Meskipun padat, Cosan Demangan tidak terasa sesak. Interiornya didominasi warna putih, abu muda, dan unsur kayu, memberi kesan hangat dan sederhana. Di beberapa sudut, tanaman hijau dalam pot kecil menambah aksen segar. Musik yang diputar malam itu---campuran lo-fi dan akustik indie---mengisi ruang tanpa memekakkan telinga.
Saya memilih duduk di area indoor dekat jendela, setelah menunggu sekitar 10 menit. Di sekitar saya, meja-meja terisi penuh. Ada pasangan yang sedang ngobrol pelan, sekelompok mahasiswa membahas tugas sambil buka laptop, dan beberapa orang yang hanya diam dengan earphone terpasang.
Yang menarik, meskipun ramai, suasana tetap tertib dan terjaga. Tidak ada suara keras, tidak ada asap rokok, dan pelayan tetap sigap melayani.
Tanpa ragu, saya memesan Cosan Aren Latte, menu yang dari awal sudah saya incar. Harganya cukup ramah di kantong, mengingat lokasi dan ambience yang ditawarkan. Proses pesanan hanya butuh waktu sekitar lima menit. Saya terkesan---efisien, padahal ramai.
Saat kopi datang, visualnya sederhana tapi menggoda. Disajikan dalam gelas plastik bening dengan es batu dan lapisan kopi-susu yang belum tercampur sempurna. Di bagian bawah, gula aren terlihat mengendap sedikit, menunggu untuk diaduk.
Saya aduk perlahan, lalu menyeruput. Dan... saya langsung paham kenapa orang-orang merekomendasikannya.
Kopi susunya tidak dominan manis. Justru keseimbangan antara pahit kopi, gurihnya susu, dan aroma smoky dari gula aren membuatnya terasa dewasa. Ini bukan kopi susu yang asal campur bahan, tapi terasa diracik dengan takaran yang diperhitungkan. Segar, ringan, tapi tetap "nempel" di lidah.
Obrolan Ringan dengan Pengunjung