Mohon tunggu...
Hasyim Ali Shahab
Hasyim Ali Shahab Mohon Tunggu... -

Mahasiswa Ilmu Ekonomi Universitas Indonesia | Trainee Kajian KANOPI FEB UI 2016 | Staff Kajian dan Aksi Strategis BEM FEB UI 2017

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Catatan Perlawanan: Tentang Pendidikan Kita yang Kian Terlupa - Dari dan Untuk Mahasiswa Indonesia

21 Januari 2018   19:21 Diperbarui: 21 Januari 2018   21:29 545
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: LensaIndonesia

Non scholae, sed vitae discimus

Kita belajar bukan untuk sekolah, melainkan untuk hidup. Begitulah kurang lebih arti dari pepatah latin diatas. Non scholae, sed vitae discimus pertama kali diucapkan oleh Seneca, seorang filsuf Romawi, dalam suratnya kepada Lucius untuk mengkritik sekolah-sekolah filsafat pada masanya di abad I. Nyatanya pepatah tersebut masih cukup relevan untuk mengkritik sekolah, pendidikan tinggi, dan para pelajar kita di abad XXI yang masih sering mengalami disorientasi dari tujuan pendidikan itu sendiri. Tujuan utama dari pendidikan adalah seseorang bisa hidup dengan baik, atau bisa menjadi warga negara baik yang siap mewujudkan reformasi tatanan sosial.

Sebagai bagian dari pelajar dengan gelar 'mahasiswa', tentu kita harus memaknai arti pepatah dan tujuan tersebut lebih dalam. Kita telah berada di babak baru dalam dunia pembelajaran, dengan gelar 'maha' atas kesiswaan kita. Mungkin sebagian menganggap pemberian gelar 'maha' serta tingkatan baru dalam dunia pendidikan ini biasa saja dan dijalani selayaknya masa yang sudah-sudah. Namun mari sejenak melihat realita melalui data.

Sumber: BPS - Susenas KOR 2016
Sumber: BPS - Susenas KOR 2016
Salah satu poin dalam publikasi Badan Pusat Statistik (BPS) terkait potret pendidikan Indonesia adalah temuan bahwa semakin tinggi jenjang pendidikan, semakin besar pula angka putus sekolah. Pada tahun 2016, tidak sampai satu dari 100 anak SD putus sekolah. Namun ketika sampai pada jenjang SM / sederajat angkanya menjadi satu dari 20 anak yang putus sekolah. Padahal target angka putus sekolah yang diharapkan pemerintah saat ini adalah berkisar satu persen pada tiap jenjang.

Akan semakin miris ketika kita berbicara prosentase yang melanjutkan ke Perguruan Tinggi. Melalui sumber publikasi yang sama didapatkan fakta bahwa hanya sekitar delapan persen penduduk usia 15 tahun ke atas yang lulus Perguruan Tinggi. Apakah ini kegagalan pemerintah? Bukan!

Kali ini kita tidak sedang melakukan evaluasi kinerja pemerintah. Sudut pandang yang ingin saya angkat adalah bahwa di negara kita ada jutaan anak yang masuk dan lulus SD setiap tahunnya, tetapi hanya ratusan ribu yang masuk dan lulus Perguruan Tinggi, termasuk kita. Oleh karena itulah kita diberi gelar ‘maha’, kita berbeda, dan bukan sesuatu yang mengherankan apabila mahasiswa sering dipandang sebagai kekuatan moral maupun agen perubahan dalam kehidupan bermasyarakat. Kita adalah peraih kesempatan untuk maju dan mengembangkan diri di Perguruan Tinggi, bukan untuk diri sendiri, tetapi untuk kemajuan bangsa.

Apabila berkaca pada sejarah, selain belajar sejatinya tugas tambahan bagi mahasiswa adalah melawan. Melawan berbagai bentuk kezaliman baik berlandaskan moral maupun intelektual. Perkembangan bangsa mungkin tidak akan mencapai titik yang sekarang kita rasakan apabila mahasiswa di tahun 1966, 1974, hingga 1998 menyamakan perannya dengan pelajar sekolah dan mendiamkan berbagai hal yang tidak beres di masa – masa tersebut. Lalu, apakah keadaan sekarang segawat itu untuk kita melawan?

Kawan, perlawanan itu akan selalu ada beriringan dengan kezaliman dan keadaan yang tidak beres lainnya. Perlawanan tidak selalu untuk menyerang atau menyalahkan. Contohnya di masa sekarang, kita perlu melakukan perlawanan terhadap tingginya angka putus sekolah di jenjang yang makin tinggi, perlawanan terhadap belum tercapainya target Angka Melek Huruf (AMH) pada penduduk usia 15 tahun ke atas , perlawanan terhadap kualitas pendidikan Indonesia yang masih berada di peringkat 69 dari 76 negara , perlawanan terhadap korupsi di sektor pendidikan yang hingga 2015 mencapai lebih dari 1,3 triliun rupiah , dan terakhir serta yang paling penting ialah perlawanan terhadap pesimisme dan apatisme yang bersarang di dalam diri kita.

Seperti yang telah diceritakan pada bagian pembuka, non scholae, sed vitae discimus. Pada posisi ini, sebagai mahasiswa, kita mendapat tanggung jawab moral menjadi agen perubahan. Membawa ilmu dan cara berpikir kita tidak sebatas di ruang kelas tetapi juga keluar. Pendidikan dan permasalahannya adalah isu yang dekat dengan kita dan bisa dimasuki oleh mahasiswa manapun dari jurusan apapun. Penting juga untuk menumbuhkan kesadaran bahwa pendidikan adalah pilar utama bagi kemajuan bangsa. Toh sejatinya setiap tempat adalah sekolah dan setiap orang adalah guru.

Pilihan kita sekarang antara peduli atau tidak, akan menentukan kondisi Indonesia 10 atau 20 tahun mendatang. Catatan perlawanan ini diharapkan menjadi salah satu tulisan pembuka mata terkait realita pendidikan Indonesia dan bagaimana peran kita sebagai insan intelektual. Juga diharapkan dapat menjadi penyulut teman – teman di luar sana untuk tidak sekedar menuntut perubahan, tetapi bersiap melawan dengan menciptakan perubahan. Sebagai penutup, ada sedikit pesan dari Rendra melalui puisinya, Sajak Seonggok Jagung:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun