In politics, nothing happens by accident. If it happens, you can bet it was planned that way - Anonymous
Bicara tahun 2018, televisi dan media massa lainnya memberi julukan 'tahun politk'. Hanya mengulang dan sedikit info saja bagi pembaca yang mungkin sampai hari ini belum tahu mengapa disebut 'tahun politik', tahun ini akan ada 171 pilkada dan berbagai persiapan menuju pileg dan pilpres di 2019 mendatang. Tapi saya saat ini tidak sedang membahas masing-masing pilkada itu, nanti akan kurang sinkron dengan judulnya. Fokus kali ini adalah ke salah satu partai yang menurut saya memiliki perjalanan unik tapi jarang dibahas yaitu Gerakan Indonesia Raya (Gerindra).
Sebelum saya memberi penjelasan mengapa artikel ini berjudul 'Gerindra dan Kereta Kuasa', mari kita mulai dengan mengunjungi tiga provinsi besar di Indonesia. Dimulai dari Jawa Barat, Jawa Tengah, hingga Jawa Timur.
Menengok Jawa Barat, nampak Bapak Ahmad Heryawan (Aher) duduk santai menunggu penghujung masa jabatannya sebagai Gubernur. Kader PKS ini telah dua periode berturut-turut terpilih sehingga sudah waktunya kursi tersebut diduduki setelan celana baru. Ada gula ada semut. Seperti itulah ketika partai politik melihat potensi kuasa. Setidaknya bakal ada empat calon di Jawa Barat yang diusung oleh beberapa partai:
- Deddy Mizwar-Dedi Mulyadi, diusung Partai Golkar dan Demokrat
- Ridwan Kamil-Uu Ruzhanul Ulum, diusung Partai Nasdem, PPP, PKB, dan Hanura
- Sudrajat-Ahmad Syaikhu, diusung Partai Gerindra, PKS, dan PAN
- Tubagus Hasanuddin-Anton Charliyan, diusung PDI Perjuangan
Tidak jauh berbeda ketika kita melanjutkan perjalanan ke Jawa Tengah. Disini, Ganjar Pranowo sebagai petahana masih ada kesempatan untuk memegang tongkat kekuasaan. Sehingga kali ini ia akan kembali berkompetisi. Tidak seramai Jawa Barat, Jawa Tengah akan menghadirkan head-to-head antara:
- Ganjar-Yasin, diusung koalisi lima partai, yakni PDI-P, Golkar, Demokrat, PPP, dan Nasdem.
- Sudirman-Ida, diusung koalisi empat partai, yakni Gerindra, PKS, PAN, dan PKB.
Duel dua pasangan juga terjadi di Jawa Timur. Ingin menggantikan posisi Pakde Karwo dan Gus Ipul, kedua pasang itu adalah:
- Khofifah-Emil Dardak, diusung oleh Demokrat, Golkar, Nasdem, PPP, Hanura, dan PAN
- Gus Ipul-Puti Guntur Soekarnoputri, diusung oleh PKB, Gerindra, PDI-P, dan PKS.
Pada tulisan ini, fokus yang ingin saya berikan adalah ke partai Gerindra. Partai ini berhasil tumbuh menjadi partai yang sangat diperhitungkan keberadaannya dalam suatu koalisi. Setidaknya itu yang terjadi pada pilkada di seantero Jawa. Tentu memang ada beberapa partai lain, katakanlah PDIP, Golkar, dan Demokrat yang tidak kalah kuat suaranya secara nasional. Namun yang membuat Gerindra spesial adalah umurnya yang relatif lebih muda dibanding keempat partai tersebut. Sebagai gambaran, PDIP lahir pada tahun 1999, Golkar muncul tahun 1964, dan Demokrat sendiri didirikan pada tahun 2001.Â
Gerindra baru muncul pada tahun 2008. Hanya berjarak setahun dari pemilu yang akan berlangsung. Diantara partai-partai baru pada pemilu 2009, hanya Gerindra yang berhasil muncul sebagai kekuatan elektoral yang berpengaruh. Bahkan menggeser beberapa partai yang lebih senior seperti PBB dan PKPI. Inilah mengapa tulisan kali ini berjudul 'Gerindra dan Kereta Kuasa'. Gerindra berhasil menjadi basis dukungan politik dalam bentuk partai yang muncul dan menguat dalam waktu yang relatif singkat.
Fakta lain menunjukkan bahwa Gerindra mengalami kenaikan prosentase dukungan paling tinggi pada pemilu legislatif 2014. Berikut perjalanan partai pembandingnya (PDIP, Golkar, dan Demokrat) sejak pemilu 2004 hingga 2014.
Pertanyaan menarik selanjutnya, bagaimana bisa?