Saya duduk di beranda sambil membawa laptop, dua kaleng bir dan menuliskan kisah Lamik dan Dhawi kembali. Kisah mereka yang hidup lagi.
***
Hari itu Lamik berulang tahun yang ke... lupa, entah berapa, tapi pada hari itu Dhawi ingin mengajak Lamik untuk jalan-jalan ke sebuah bukit dengan lembah yang lembab dan hanya ada jalan setapak. Dhawi selalu punya puluhan tempat yang menyebalkan, bahkan ratusan, bahkan tak terhitung, yang bisa membuat Lamik termenung seharian. Dhawi suka ketika Lamik seperti itu.
Ada yang ingin Dhawi lihatkan pada Lamik di bukit itu: sebuah bangunan tua yang ditinggali kurcaci.
Ya, kurcaci, tapi yang tak lagi menemani Putri Salju sepanjang musim kemarau atau musim semi.
Bangunan tua itu tak terawat. Karena suhu di bukit itu relatif tak menentu, dinding bangunan itu ditumbuhi lumut. Beberapa pajangan di meja atau dalam lemari kaca pun berdebu. Setidaknya itu yang Dhawi ingat saat pertama kali ke situ.
Dhawi ingin mengenalkan ketujuh kurcaci yang menurutnya lucu-lucu pada Lamik. Dhawi tahu kalau Lamik sama sekali tak percaya pada apapun yang fiktif, yang sering ia dengar atau baca dalam dongeng-dongeng. Laki-laki selalu berpikir logis, ucap Lamik satu waktu, segala khayalan adalah bualan.
Sebelum berangkat, Dhawi meminta Lamik berjanji untuk tidak rewel sepanjang jalan ataupun sesampainya di tujuan. Lamik tidak menjawab. Hening beberapa saat. Dhawi mencium Lamik. "Selamat ulang tahun, Sayang." Lamik masih tidak berkata apa-apa, tapi dari senyumnya Dhawi tahu: Lamik setuju.
***
"Masih berapa lama lagi kita sampai?" tanya Lamik dengan wajah kecut.
"Sebentar lagi,"