Mohon tunggu...
Harry Ramdhani
Harry Ramdhani Mohon Tunggu... Teknisi - Immaterial Worker

sedang berusaha agar namanya di (((kata pengantar))) skripsi orang lain. | think globally act comedy | @_HarRam

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Yang (Sulit) Dipelajari dari Montella dan AC Milan

6 Desember 2017   09:48 Diperbarui: 28 Mei 2019   22:48 2508
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Vincenzo Montella, setelah AC Milan dikalahkan Torino 3-2 (@EPA)

Bagaimana tidak, pertandingan sudah memasuki waktu tambahan. Tim sedang unggul 1 angka, meski minus 1 pemain karena diusir wasit. Mungkin pertandingan itu akan jauh lebih cepat selesai daripada mengunduh 1 lagu bajakan. 

Jika ingin menang, tentu ada cara sederhana yang sudah terbukti berkali-kali di tanah Britania: bertahan! Buang jauh-jauh keinginan menyerang. Rebut bola sebisanya dan buang yang jauh ke depan. Tidak perlu melakukan aksi lebih dengan membuat pelanggaran. Sebab, setiap pelanggaran adalah peluang untuk tim lawan.

Namun tim lawan, yang notabene adalah tim promosi, yang sama sekali belum pernah mendapat poin satupun itu, berhasil menyamakan kedudukan. Skor imbang. Gol itupun dicetak bukan oleh penyerang andalan atau sang super-sub, melainkan kiper. 

Kamera langsung mengarahkan pada posisi Gatusso yang berdiri di pinggir lapangan. Ia berbalik badan. Mengumpatkan sesuatu ke arah siapa saja. Sedangan dari tempat lainnya, tim tuan rumah benar-benar meluapkan kegembiraan. Brignoli, kiper pencetak gol itu, langsung diserbu dengan pelukan yang jauh lebih hangat dari pelukan mantan yang menolak diajak balikkan.

Wasit mengakhir laga dengan suara pluit yang parau. Seisi stadion bergemuruh. Merayakan poin yang akhirnya didapat setelah pertandingan kelima belas. Tentu saat itu AC Milan tidak sedang berbagi angka, karena AC Milan sedang bertamu. Sebagai tamu. Sebab fasa "berbagi" itu hanya digunakan oleh tuan rumah. Apapun yang dimiliki, dibagi. Sesuatu yang datang, baik itu atas kehendak atau tidak, dan ingin berharap mendapat sesuatu, frasa yang sekiranya tepat adalah mengambil, isitilah kasarnya, pencuri. Jadi yang benar itu: AC Milan gagal mencuri poin. 

*** 

Ketika Gus Dur disurati oleh Romo Sindhunata lewat Harian Kompas, kita menjadi paham bagaimana sepakbola bisa digunakan sebagai bahasa kritik yang lugas. Romo Sindhunata menuding kalau Gus Dur terlalu menggunakan strategi Catenaccio dalam menjalankan roda pemerintahan. Barangkali karena terlalu lambannya demokrasi yang dulu telah lama kita dambakan, "... bahwa dengan catenaccio itu ia dapat mengatasi lawan politiknya di DPR."

Tapi amanat reformasi bukan semata tentang cara melawan politik semata, bukan? Sebab, hakikat catenaccio adalah bertahan dengan menunggu adanya peluang. Pada masa transisi inilah, bagi Romo Sindhunata, pemerintahan Gus Dur  terlihat lamban dalam membuat perubahan. Bila digambarkan dalam skema permainan, pemerintahan Gus Dur  semestinya mencari dan membuat peluang-peluang itu. 

Pemerintah semestinya memakai gaya sepakbola menyerang, berisiko dengan segala macam kemungkinan. Karena dalam sepakbola, tulis Romo Sindhunaata, peluang itu tidak ada di belakang, tetapi di depan. Dan yang paling nyata, "peluang itu terjadi dalam kemelut bola di gawang lawan."

Alih-alih kesal dengan kritik itu, seperti yang kita tahu, Gus Dur membalasnya dengan hangat dan akrab kepada Romo Sindhunata. Benar, bahwa selama kepemimpinan Gus Dur ada lembaga yang selalu berlawanan dengannya, yaitu Pansus (Panitia Khusus) DPR. Tapi, kata Gus Dur, keseluruhan perkembangan di negeri kita membutuhkan tidak hanya satu strategi saja, karena ia meliputi suatu kawasan kehidupan yang sangat luas.

Jalan reformasi masih amat panjang ketika itu. Mungkin tidak bisa tuntas dalam 1-2 tahun saja. Tidak bisa dilakukan cepat seperti permainan Inggris, hit and run. Bahkan, tulis Gus Dur, bisa membutuhkan satu generasi. Bukan sekarang, tapi nanti bisa kita rasakan. Oleh karena itu, Gus Dur mengutip pemikiran V.I. Lanin sebagai "penyakit kiri kekanak-kanakan". Dan bila itu dilakukan, sama saja dengan bunuh diri. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun