Di antara hamparan savana dan tiupan angin dari Laut Sawu, berdiri teguh sebuah warisan budaya yang terus hidup dalam denyut nadi masyarakat Rote, Nusa Tenggara Timur. Warisan itu adalah Tarian Foti yang bukan sekadar pertunjukan artistik, melainkan refleksi kolektif dari sejarah, keberanian, dan filosofi hidup masyarakat Rote.
Tarian Foti, dalam makna paling dalam, adalah tarian kejuangan dan penghormatan. Ia tumbuh dari akar sejarah sebagai tarian perang yang ditarikan untuk menyambut pahlawan yang pulang dari medan laga, luka penuh kisah, namun kepala tegak dan dada membusung. Dalam semangat itu, Tarian Foti bukan sekadar gerakan ritmis, tapi simbol dari eksistensi dan daya tahan masyarakat pulau yang jauh dari pusat, namun kuat dalam harga diri budaya.
Gerak dalam Tarian Foti tampak spontan yakni kaki menghentak tanah, tangan menebas udara, dan dada menggembung seraya meneriakkan "Koa! Ihiy!" Namun di balik kekuatan itu, tersimpan narasi sosial yang lebih dalam: keterhubungan antara tubuh, tanah, dan komunitas.
Video di atas merupakan pertunjukan Tarian Foti (Sumber: Youtube UBB-GMIT). Jika kita melihat dan mendalami dengan seksama, tanah, dalam masyarakat Rote, bukan sekadar tempat berpijak. Ia adalah saksi ketekunan, tumpah darah, dan juga rumah spiritual. Maka setiap hentakan kaki ke bumi dalam Tarian Foti bukan hanya pengiring irama, tapi pernyataan simbolik: "Kami berasal dari tanah ini, dan kami akan menjaganya."
Sementara itu, teriakan-teriakan koak menjadi bentuk komunikasi emosional dan psikis atau teriakan yang memanggil semangat kolektif, mengusir takut, dan membangkitkan daya juang. Dalam konteks sosial, ini menjadi simbol solidaritas dan penyadaran identitas kelompok: bahwa dalam setiap tantangan, masyarakat Rote akan bersatu, bergerak, dan bersuara.
Apa yang dikenakan para penari Foti tidak dapat dipisahkan dari narasi budaya itu sendiri. Ti'i Langga, topi berbentuk bintang yang unik dan memiliki "tanduk atau antena", bukan hanya penutup kepala. Ia adalah mahkota rakyat, simbol dari ketajaman pikiran dan keberanian bertindak.
Kain selimut atau hafa yang dililitkan secara khas di tubuh para lelaki penari adalah penanda status, identitas suku, dan peran sosial mereka. Sementara bagi perempuan, Bula Molik yang berbentuk bulan sabit di kepala menjadi lambang keanggunan, kesuburan, dan keluhuran martabat perempuan dalam sistem kekerabatan Rote yang patrilineal, namun tetap memberi ruang bagi peran perempuan dalam perayaan dan spiritualitas.
Dengan kata lain, busana dalam Tarian Foti adalah ekspresi sosial budaya yang melekat pada tubuh, bukan sekadar pelengkap estetika.
Ritual Foti tak akan hidup tanpa irama gong Meko dan dentuman tambur La'bu. Suara gong yang nyaring dan tidak selalu harmonis secara nada justru mencerminkan irama hidup masyarakat agraris dan maritim yang keras, tidak selalu rapi, namun penuh makna.