Palembang, 16 Juli 2025
Ditulis oleh: Harmoko -- Penulis Penuh Tanya
Ketika Utang Menyusup ke Meja Makan
Tak ada yang menyangka bahwa dapur yang hangat dan ruang keluarga yang nyaman bisa berubah jadi medan diplomasi---semua gara-gara satu hal: utang yang disembunyikan.
Dalam tulisan Widodo Antonius di Kompasiana, kita diajak melihat bagaimana sebuah keluarga mendadak goyah karena seorang anggota diam-diam memakai dana bersama, bahkan menyentuh tabungan anak-anak, untuk menutup utang pribadi. Awalnya panik, kecewa, dan tentu saja, kaget. Tapi bukannya meledak seperti sinetron jam prime time, keluarga ini memilih jalan sulit: duduk bersama, mencari akar, dan menyusun langkah keluar dari krisis.
Sementara itu, dalam tulisan Evridus, suasananya lebih sendu. Utangnya memang lunas. Tapi ternyata, luka batin yang ditinggalkan tidak serta-merta sembuh. Mungkin karena kata "maaf" tak pernah benar-benar datang, atau karena "terima kasih" hanya sekilas lewat. Yang tertinggal justru: cap lelah, trauma, dan jarak emosional.
Luka dalam Keluarga Tak Bisa Diukur dengan Kalkulator
Dua kisah ini mengajarkan kita bahwa utang bukan hanya soal uang. Tapi soal kepercayaan, kejujuran, dan rasa aman. Ketika utang masuk ke ruang keluarga, ia tak hanya menggerogoti saldo rekening---ia menguji kesabaran, merusak rasa saling percaya, bahkan membuat meja makan terasa dingin walau ada sayur lodeh panas.
Widodo menggambarkan pentingnya membangun komunikasi: keterbukaan jadi kunci utama. Sementara Evridus mengajak kita merenung: bahwa meski angka di kuitansi sudah nol, tapi kalau relasi rusak, yang dibayar bisa jadi terlalu mahal.
Solusi? Bukan Sihir, Tapi Komitmen