Mohon tunggu...
Harmoko
Harmoko Mohon Tunggu... Penulis Penuh Tanya

"Menulis untuk menggugah, bukan menggurui. Bertanya agar kita tak berhenti berpikir."

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Dampak Utang dalam Keluarga: Lunas di Kertas, Luka di Hati

16 Juli 2025   00:25 Diperbarui: 16 Juli 2025   00:25 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Ketika meja makan menjadi saksi bisu renggangnya hubungan karena utang yang disembunyikan./Gambar bantuan AI.

Palembang, 16 Juli 2025

Ditulis oleh: Harmoko -- Penulis Penuh Tanya

Ketika Utang Menyusup ke Meja Makan

Tak ada yang menyangka bahwa dapur yang hangat dan ruang keluarga yang nyaman bisa berubah jadi medan diplomasi---semua gara-gara satu hal: utang yang disembunyikan.

Dalam tulisan Widodo Antonius di Kompasiana, kita diajak melihat bagaimana sebuah keluarga mendadak goyah karena seorang anggota diam-diam memakai dana bersama, bahkan menyentuh tabungan anak-anak, untuk menutup utang pribadi. Awalnya panik, kecewa, dan tentu saja, kaget. Tapi bukannya meledak seperti sinetron jam prime time, keluarga ini memilih jalan sulit: duduk bersama, mencari akar, dan menyusun langkah keluar dari krisis.

Sementara itu, dalam tulisan Evridus, suasananya lebih sendu. Utangnya memang lunas. Tapi ternyata, luka batin yang ditinggalkan tidak serta-merta sembuh. Mungkin karena kata "maaf" tak pernah benar-benar datang, atau karena "terima kasih" hanya sekilas lewat. Yang tertinggal justru: cap lelah, trauma, dan jarak emosional.

Luka dalam Keluarga Tak Bisa Diukur dengan Kalkulator

Dua kisah ini mengajarkan kita bahwa utang bukan hanya soal uang. Tapi soal kepercayaan, kejujuran, dan rasa aman. Ketika utang masuk ke ruang keluarga, ia tak hanya menggerogoti saldo rekening---ia menguji kesabaran, merusak rasa saling percaya, bahkan membuat meja makan terasa dingin walau ada sayur lodeh panas.

Widodo menggambarkan pentingnya membangun komunikasi: keterbukaan jadi kunci utama. Sementara Evridus mengajak kita merenung: bahwa meski angka di kuitansi sudah nol, tapi kalau relasi rusak, yang dibayar bisa jadi terlalu mahal.

Solusi? Bukan Sihir, Tapi Komitmen

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun