Oleh: Harmoko | Palembang, 4 Juli 2025
Saatnya Memeluk Masa Lalu Lewat Masa Depan
Di tengah derasnya arus teknologi dan globalisasi, budaya tradisional Nusantara ibarat perahu kecil yang terus berlayar di lautan algoritma. Kita hidup di era TikTok, big data, dan kecerdasan buatan, tetapi masih terselip suara gamelan di kejauhan, masih ada aroma malam dari batik yang hangat, dan masih ada kisah Panji yang menunggu didengar ulang, bukan hanya dibaca dari lembaran tua.
Pertanyaannya: apakah teknologi menjadi ancaman atau justru peluang? Apakah digitalisasi bisa jadi penyelamat, bukan perampas identitas?
Kekayaan Budaya yang Tak Tertandingi, Tapi Rentan Terlupakan
Indonesia bukan hanya negara kepulauan, tapi juga gugusan peradaban. Ada ribuan tradisi lisan, ratusan bahasa daerah, hingga warisan seni rupa dan pertunjukan yang turun-temurun. Namun, banyak yang kini sekarat dalam sunyi.
Sebut saja tarian daerah yang hanya hidup saat ada lomba 17-an, lagu rakyat yang tak lagi akrab di telinga generasi alpha, hingga tradisi tenun dan batik yang perlahan digantikan produksi massal pabrik tekstil.
Pelestarian budaya bukan hanya soal mempertahankan bentuk fisiknya, tapi juga jiwanya. Di sinilah digitalisasi bisa memainkan peran penting: bukan sekadar mengabadikan, tapi menghidupkan kembali.
Digitalisasi Bukan Sekadar Menyimpan, Tapi Menghidupkan
Mari kita luruskan: digitalisasi budaya bukan berarti membekukan budaya dalam bentuk file PDF atau koleksi Google Drive. Itu baru permulaan.