Memiliki rumah pribadi adalah impian banyak orang. Tapi di Palembang, impian itu semakin sulit dicapai, terutama oleh generasi milenial yang berpenghasilan setara Upah Minimum Kota (UMK).Â
Harga rumah terus merangkak naik, sementara pendapatan stagnan. Pemerintah memang menyadari persoalan ini, tetapi solusi struktural belum kunjung datang.
Pada 2025, UMK Palembang mencapai Rp 3.916.635. Angka ini tertinggi di Sumatra Selatan, tapi tetap belum cukup untuk mencicil rumah layak huni.Â
Dalam praktik keuangan yang sehat, hanya 30--35 persen penghasilan yang boleh digunakan untuk mencicil rumah.Â
Artinya, maksimal cicilan per bulan sekitar Rp 1,37 juta. Dengan bunga 8 persen dan tenor 15 tahun, nilai rumah yang bisa dibeli tak lebih dari Rp 150 juta.
Pertanyaannya: apakah masih ada rumah seharga Rp 150 juta di Palembang? Jawabannya, hampir tidak ada---kecuali di kawasan pinggiran yang jauh dari pusat kerja dan minim transportasi.
Di kawasan Sukarame, Plaju, atau Ilir Timur, harga rumah tipe 36 sudah menyentuh Rp 350 juta--500 juta.Â
Bahkan di kawasan pinggiran seperti Talang Kelapa, Jakabaring, atau Alang-Alang Lebar, harga rumah bersubsidi pun telah mendekati Rp 130 juta.Â
Sayangnya, unit subsidi ini terbatas, dengan daftar antrean panjang. Rumah pun tak selalu layak---baik dari sisi kualitas material, sanitasi, maupun akses air bersih.
Hal ini membuat para milenial terjebak di antara dua pilihan: menyewa rumah kontrakan dengan harga kian mahal, atau membeli rumah murah jauh di pinggiran tanpa jaminan transportasi.