Mohon tunggu...
Harjoni Desky
Harjoni Desky Mohon Tunggu... Akademisi dan jurnalis

Akademisi dan jurnalis. Fokus pada isu-isu ekonomi syariah, transformasi digital, kebijakan publik, dan pemberdayaan masyarakat. Menulis untuk menyuarakan solusi.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Dari Tempat Mengaji ke Pusat Wirausaha: Revolusi Sunyi di Balik Dinding Dayah

5 Agustus 2025   01:01 Diperbarui: 4 Agustus 2025   06:54 28
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Di ujung senyap sebuah kampung di Aceh, adzan subuh memecah fajar. Santri-santri bergegas menuju meunasah---membawa kitab kuning yang sudah mulai lusuh, tapi isi kepalanya justru semakin tajam. Tapi hari ini, setelah mengaji, mereka tidak langsung istirahat. Sebagian ke dapur produksi herbal, yang lain ke bengkel kreatif, sisanya membuka laptop untuk mengurus pesanan marketplace. Inilah wajah baru dayah yang tidak banyak diketahui orang.

Dayah bukan lagi sekadar tempat menimba ilmu agama. Ia telah menjelma menjadi pusat pembinaan ekonomi berbasis nilai---tempat di mana ajaran Nabi tentang kemandirian, kejujuran, dan tanggung jawab sosial dipraktikkan dalam wujud nyata: produk, usaha, dan perputaran uang.

Revolusi itu sunyi, nyaris tanpa sorotan. Tapi di balik dinding sederhana itu, generasi baru sedang dibentuk: santri yang mampu berdiri di atas kaki sendiri, bukan hanya sebagai dai, tapi juga sebagai pelaku ekonomi. Mereka belajar dari kitab, tetapi juga dari pasar. Dan siapa sangka, semua ini bermula dari semangat sederhana: ingin hidup mandiri, tanpa kehilangan identitas.

Transformasi dayah dan Santripreneur

Melalui program "Santri Kreatif" atau Kreasi, yang diluncurkan Menteri Ekonomi Kreatif Teuku Riefky Harsya di Dayah MUDI Mesjid Raya Samalanga, Bireuen (16 November 2024 dan Juni 2025), pemerintah pusat resmi membuka ruang bagi pengembangan ekonomi kreatif bagi santri dayah Aceh (Diskominfo Banda Aceh). Model ini tidak hanya berhenti pada pelatihan keterampilan, tetapi juga implementasi nyata: mulai dari produksi kopi Gayo, kerajinan tangan, layanan voiceover, hingga digital marketing dengan mentor profesional. Mayoritas santri peserta tampil pada Pekan Raya Santri Aceh 2023, yang diikuti lebih dari 20 dayah dari Banda Aceh dan Aceh Besar, memamerkan produk makanan halal, busana muslimah, dan busana kreatif lainnya---sebagai bukti bahwa dayah kini juga bertumbuh sebagai pusat UMKM lokal "santripreneur" (theacehpost.com).

Sementara itu, hasil penelitian di tiga dayah salafiyah Aceh menunjukkan bahwa peran pimpinan dayah sebagai pendidik dan fasilitator adalah kunci dalam membentuk jiwa mandiri santri bisnis---tanpa menihilkan nilai religius (jpti.journals.id). Program pelatihan kerajinan tangan dan pemasaran---baik konvensional maupun digital---yang dijalankan di lingkungan pesantren, telah meningkatkan pengetahuan serta keterampilan santri hingga mampu membentuk kelompok usaha produktif yang mulai dikenal di tingkat lokal (Media Indonesia). Di Dayah MUDI, misalnya, hadir pula koperasi AlBarkah dan Bank MUDI yang mengelola keuangan digital dan memfasilitasi transaksi santri mahasiswa dengan transparan dan inklusif. Institusi ini memungkinkan santri merasakan manajemen usaha nyata sejak dini: dari penyediaan perlengkapan hingga pemasaran produk mereka sendiri (kanalaceh.Com)

Transformasi dayah ke arah pusat kewirausahaan bukan tanpa tantangan. Masalah klasik seperti minimnya fasilitas, kurangnya akses terhadap pelatihan bisnis, dan ketiadaan pendampingan profesional sempat menjadi hambatan besar. Namun, langkah-langkah perbaikan telah dilakukan secara bertahap. Pemerintah Aceh melalui Dinas Pendidikan Dayah dan Dinas Koperasi kini rutin mengadakan pelatihan terpadu untuk guru dayah dan santri dalam bidang manajemen usaha, literasi keuangan, serta branding produk halal. Tak hanya itu, beberapa perguruan tinggi seperti Universitas Syiah Kuala dan UIN Sultanah Nahrasiyah Lhokseumawe telah menjalin kemitraan strategis dengan dayah lokal untuk melakukan inkubasi bisnis syariah berbasis pesantren. Ini memperkuat keterhubungan antara dunia pendidikan tinggi dan lembaga tradisional Islam yang selama ini dianggap terpisah.

Upaya penguatan sistem ekonomi dayah juga terlihat dari inovasi kebijakan berbasis komunitas. Salah satu contohnya adalah pengembangan koperasi syariah internal yang kini telah hadir di lebih dari 30 dayah besar di Aceh, termasuk Dayah Darul Ihsan, Dayah Ummul Ayman, dan Dayah Malikussaleh. Koperasi ini bukan hanya sebagai alat transaksi, tetapi juga ruang edukasi ekonomi santri secara langsung. Produk-produk unggulan seperti sabun herbal, kopi Gayo, minyak zaitun, hingga madu hutan dikembangkan tidak hanya untuk konsumsi internal, tetapi juga dijual secara daring ke luar Aceh melalui platform e-commerce lokal. Inilah wajah baru pendidikan Islam---bukan hanya mencetak akhlak, tetapi juga mengasah kemandirian ekonomi yang relevan dengan zaman.

Kini, denyut ekonomi di sekitar kompleks dayah tidak lagi sebatas warung kopi atau toko kitab. Keberadaan unit usaha pesantren menciptakan efek berganda (multiplier effect) bagi warga sekitar. Misalnya, ketika koperasi dayah membeli bahan baku seperti beras, telur, dan rempah-rempah, mereka lebih memilih petani atau pedagang lokal sebagai mitra. Para ibu rumah tangga yang sebelumnya hanya mengandalkan pendapatan suami sebagai buruh tani, kini turut dilibatkan dalam produksi makanan ringan, kerajinan tangan, atau kemasan produk halal. Dayah tidak lagi eksklusif bagi santri, melainkan menjadi simpul ekonomi yang menyatukan nilai spiritual dan solidaritas sosial dalam praktik nyata sehari-hari.

Refleksi yang paling menyentuh datang dari masyarakat kecil yang dulu memandang pendidikan agama sebatas urusan akhirat. Kini, mereka menyaksikan bahwa pendidikan agama yang berpijak pada nilai kerja keras dan kemandirian justru mampu mengubah nasib banyak keluarga. Beberapa alumni dayah bahkan pulang kampung dengan membawa keterampilan bisnis dan membuka usaha sendiri---dari bengkel motor syariah, warung kopi digital, hingga toko herbal Islami. Mereka menjadi teladan bahwa agama dan kesejahteraan bukanlah dua jalan yang berlawanan, melainkan satu kesatuan utuh yang jika dijalankan dengan niat baik, akan menebar berkah tidak hanya di majelis ilmu, tetapi juga di dapur-dapur warga.

Di tengah gempuran zaman yang seringkali menggiring manusia pada gemerlap tanpa arah, dayah-dayah di Aceh justru memberi pelajaran tentang arah pulang---bahwa kemajuan tak harus menanggalkan nilai, dan kesejahteraan bisa tumbuh dari kesederhanaan yang terjaga. Ketika banyak institusi pendidikan sibuk mengejar peringkat dan gengsi, dayah memilih berjalan pelan tapi pasti: membentuk manusia yang utuh---berilmu, beriman, dan berdikari. Mungkin, saat kita sibuk mencari solusi di luar, lupa bahwa jawaban itu justru sedang tumbuh diam-diam di balik dinding dayah yang bersahaja. Maka pertanyaannya kini: apakah kita masih memandang dayah hanya sebagai tempat mengaji, atau sudah mulai melihatnya sebagai pondasi masa depan bangsa?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun