Mohon tunggu...
harjanto halim
harjanto halim Mohon Tunggu... -

SMA Karangturi 1984 UC Davis USA 1990

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Harga Sebuah Kesetiaan

3 Januari 2018   16:05 Diperbarui: 3 Januari 2018   17:35 305
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Berapa harga sebuah kesetiaan?

Berapa nilai sebuah keyakinan?

Seorang kolega bercerita tentang seorang jendral yang pernah bertugas di Timor Timur. Waktu itu Timor Timur masih bergolak, bentrok bersenjata, gerilyawan dimana-mana. Sebuah situasi yang keras dan penuh bahaya. Salah melangkah, nyawa bisa melayang, karena diserang, atau karena menginjak ranjau.

Sang jendral punya seorang anak buah yang berangasan dan sangat emosional; tidak hanya di lapangan, tapi juga di rumah. Isterinya sering jadi sasaran amuk. Benar salah tidak urusan, bogem melayang duluan. Tiap kali dianiaya, sang Isteri hanya diam dan menangis. Di larut malam, sang Isteri terisak, berdoa lirih sambil berbisik. Berdoa untuk suami yang dicintainya. Hatinya tulus, doanya ikhlas. Tak ada sepercikpun benci. Doa selalu diakhiri dengan 'Kidung Pujian'. Sementara sang Suami terlelap di sebelahnya, antara sadar dan tidak, membentak isterinya agar segera diam.

Suatu ketika, entah karena apa, si Suami kembali menghajar isterinya sedemikian keras, sedemikian murka, hingga isterinya cacat. Sang Isteri berjalan terpincang-pincang, menyeret tubuh dan hatinya yang terluka. Si Suami tak sedikitpun merasa bersalah; tak sekecap pun maaf terucap.

Di malam gelap kelam, sang Isteri terisak di dalam pedih. Air mata bercucuran tak terkira. Sang Isteri bersimpuh dan berdoa, memohonkan maaf bagi suaminya yang khilaf. 'Kidung Pujian' kembali dilangitkan, tanpa sedikitpun dendam tersemburat. Suaminya diam dalam lelap, terbuai 'Kidung Pujian' yang berdengung di kepalanya yang terasa berat.

Di suatu malam, si Prajurit, si suami sadis, dan pasukannya melakukan patroli di sebuah hutan. Mendadak mereka disergap sekelompok gerilyawan. Mereka ditawan. Berhari-hari mereka disekap dan dianiaya. Awalnya digebuki, lalu ditembak mati. Si Prajurit berangasan ikut digebuki, ditendang, dan disakiti. Satu persatu temannya dieksekusi.

Malam itu si Prajurit kembali disiksa. Dadanya ditendang, kepalanya dibentur-benturkan ke dinding, jemari kakinya diinjak dengan kaki kursi hingga remuk. Ia merasa ajal demikian dekat. Sebentar lagi gilirannya dieksekusi. Dalam erangan penuh derita tak terkira, wajah sang Isteri tiba-tiba terbayang. Wajah nan penuh kasih, wajah nan setia, wajah nan penuh percaya; yang tak sekalipun mengeluh, yang tak sekalipun mengutuk. 'Kidung Pujian' mendadak terngiang di kepalanya. Dan mendadak ia memperoleh kekuatan dan keberanian. Ia berlutut, ia bersimpuh dan ia berdoa; menirukan apa yang dilakukan isterinya saat ia aniaya. Dan ia berdoa sebisanya. Dan ia melantunkan 'Kidung Pujian' yang - tanpa ia sadari - selalu berdengung di dalam kepalanya, dengan suara serak terbata-bata.

Gerilyawan yang menyiksa, terdiam mendengar kidung yang dinyanyikan; menghentikan aksinya. Kidung yang dierangkan si Prajurit yang sekarat, seakan mengena di hatinya; mungkin itu kidung 'se-iman'. Mungkin si gerilyawan juga sudah terlalu lelah, penyiksaan pun dihentikan. Si Prajurit dibiarkan menyelesaikan kidung yang terdengar semakin serak di malam yang semakin kelam.

Esoknya, si Prajurit tau-tau dibebaskan. Ya, dibebaskan begitu saja. Dan iapun berhasil ditemukan pasukannya. Ia dinaikkan helikopter dan diangkut ke barak. Saat helikopter mendarat, dari kejauhan si Prajurit melihat isterinya tengah duduk menanti di pinggir lapangan, di atas sebuah kursi roda. Rupanya kondisi isterinya belum juga pulih akibat perbuatannya dulu. Si Prajurit menghambur, berlari terpincang-pincang ke arah isterinya.

Akhirnya ia sampai di hadapan isterinya. Isterinya nampak pucat, menatapnya dengan muka tegang dan kikuk, duduk meringkuk dalam trauma yang terbata-bata. Mereka saling berhadapan. Sang Isteri menggigil. Mendadak si Prajurit, Sang Algojo, Raja Tega nan kejam, jatuh berlutut, menangis dan meraung; merengkuh kedua kaki isterinya yang terpana.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun