Mohon tunggu...
Hariyanto Lmg
Hariyanto Lmg Mohon Tunggu...

Domisili di Guminingrejo, Tikung - Lamongan, Jawa Timur. e-mail : hariyanto.argum@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Jual Suara : Apa Saja Maknanya?

5 April 2014   15:57 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:03 177
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Apa yang ada di benak kita bila mendengar istilah Jual Suara? Apa makna istilah jual suara tersebut? Sebuah profesi kah jual suara itu?

Ketika mendengar istilah jual suara, biasanya ingatan saya langsung tertuju pada dua jenis pekerjaan profesi. Pertama adalah penyanyi. Sebuah profesi yang memang secara umum sangat lekat dengan suara. Yang dijual memang suara, merdunya suara. Semakin merdu, semakin mahal.

Pekerjaan menyanyi juga dikatakan sebuah profesi karena adanya tuntutan profesionalisme dalam pekerjaan itu. Untuk meraih profesionalisme menyanyi itu, di samping unsur bakat juga perlu diasah dan dilatih. Ya, perlu latihan, atau bahkan sekolah menyanyi. Bila benar-benar profesional, tentu pekerjaan menyanyi atau jual suara  ini dapat dijadikan sandaran nafkah hidup.

Kita bisa menyebut banyak contoh penyanyi sukses, tenar dan “kaya”, dari dalam dan luar negeri. Sebut sendiri ya, contohnya ...hee3x

Profesi kedua (yang juga pernah saya dengar dikaitkan dengan istilah jual suara) adalah guru. Meski tak sepenuhnya benar atau bisa disetujui, istilah jual suara pada sisi tertentu, tampaknya dapat dikait-kaitkan juga dengan pekerjaan guru. Terutama ketika seorang guru menerangkan atau menjelaskan di depan kelas.  Adalah benar bahwa guru lazimnya menjelaskan dan menyampaikan materi ajar dengan suaranya. Di beberapa kesempatan, sebagain teman guru pun ketika ditanya : “Apa pekerjaannya?, atau “Mau ke mana?, atau “Akan melakukan apa?”, dengan agak bercanda mereka menjawab : “Jual suara” atau “dodol omong” dalam bahasa Jawa.

Apakah dibutuhkan profesionalismedalam profesi guru? Jawabnya tentu ya. Tidak boleh tidak. Harusbin wajib. Apalagi bagi guru yang mengajar di sekolah formal, dibutuhkan persyaratan kualifikasi ijazah tertentu. Dalam hal ini, bagi guru, sebenarnya bukan suara yang terpenting tapi kompetensi keguruannya. Suara bukan syarat pertama dan utama. Tidak seperti penyanyi yang memang modal utamanya adalah merdunya suara.

Lalu, dari sisi menghasilkan tidaknya atau bisa tidaknya dijadikan sandaran nafkah? Profesi guru bahkan saat ini menjadi salah satu profesi yang menjanjikan dan paling diminati. Gaji guru dan tunjangan-tunjangannya semakin menarik hati ....Hee3x

Itu dua contoh profesi yang ada kaitannya (atau dikaitkan) dengan istilah jual suara, yang memang perlu modal suara (bunyi) dan latihan/pendidikan agar profesional. Bisa menjadi sebuah profesi.

Nah, akhir-akhir ini santer juga istilah “jual suara” tapi berbeda dengan dua contoh sebelumnya tersebut. Jual suara namun tanpa suara, tidak ada hubungannya dengan bunyi, hee3x.

Ya, (fenomena) jual suara dalam masa-masa pemilihan umum (legislatif, presiden/wakil presiden atau kepala daerah/wakil kepala daerah). Hak suara dalam pemilihan umum. Kabarnya, ...(isu-nya?).., para pemilik hak suara atau para pemilih, terutama di kalangan "masyarakat bawah"  banyak yang menjual suara. Katanya juga, itu dilakukan karena banyak yang antri membelinya. Para “pembeli” membeli suara untuk kepentingan sendiri atau kelompok sendiri. Pas, para pemilih juga butuh “money”. Jadi lah, jual-beli suara. Benarkah demikian keadannya? Entah lah!

Yang menarik juga, jual suara “jenis ini” tidak memerlukan latihan-latihan atau pendidikan tertentu. sebab kalau sudah dilatih/dididik, lalu lalu “cerdas”, paham apa dan bagaimana seharusnya, bisa jadi, pemilih tidak akan menjual suara. Jadi, tampaknya (atau mungkin sengaja) begitu lah ... belum banyak dimunculkan adanya pendidikan (dan tauladan) politik yang benar bagi pemilik (hak) suara.

Atau, mungkin juga ”pendidikan (dan tauladan) politik yang benar” dianggap tidak perlu. Toh hanya dilakukan lima tahun sekali. Tidak tiap tahun. Tidak tiap bulan atau tiap hari.  Tidak dapat dijadikan profesi. Penjualan atau pembeliannya  pun hanya setara dengan ganti ongkos (kerja atau transport) sehari.  

Padahal, menurut banyak pihak, yang dijual tersebut adalah kepentingan yang lebih besar. Hak hidup lebih baik dalam waktu yang lebih lama. Kalau sudah begini, siapa yang salah ya. Penjual atau Pembeli Suara? Tak tahu lah....

Tulisan ini lho hanya membahas istilah "jual suara saja dengan beragam maknanya" .   Masih ada makna lainnya...?

___Hariyanto___


Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun