Akhir akhir  ini, masyarakat telah mencapai puncak  dunia material dan kecanggihan teknologi. Pemikiran berbagai persoalan terus muncul dan berkembang seiring dengan dinamika masyarakat, termasuk pemikiran yang bersifat keagamaan.Â
Salah satu persoalan yang muncul dan mendapat respons adalah pemikiran tentang pluralisme, bahkan setiap waktu selalu mencuat ke permukaan lalu gencar diperbincangkan dan diperselisihkan oleh banyak orang.
Tidak sesikit, baik itu melalui media tulisan, blog, forum seminar, dialog interaktif secara formal maupun informal, tidak saja oleh para civitas akademi dan pakar semata, tetapi para politisi, negarawan maupun rohaniawan ikut ambil bagian.
Salah satu wacana besar pluralisme yang mendapat respon cukup besar adalah toleransi hubungan antar agama di samping gagasan lain yang tak kalah pentingnya.Â
Dalam kenyataannya, hanya sebagian masyarakat beragama yang betul memahami istilah pluralisme baik secara literal etimologis maupun secara konseptual terminologis.
Di berbagai literatur terdapat ragam istilah yang digunakan yang merujuk pada pengertian pluralisme, misalnya istilah "keragaman" , "kemajemukan", Â "kebhinnekaan", Â lintas agama dan budaya" , dan istilah verbal lainnya.
Pembicaraan masalah toleransi, yang menjadi salah satu agenda penting pluralisme, yang berangkat dari sebuah realitas dalam masyarakat dalam lingkup terkecil hingga terbesar di mana terjadi gesekan teologis, yang pada gilirannya telah menimbulkan gesekan budaya maupun teologis, karena setiap pemeluk agama berusaha memperluas eksklusivitas mereka sendiri, dengan menujukkan identitas untuk membuktikan dirinya yang terkuat, paling kompatibel, dalam kerangka mempertahankan eksistensinya.
Hal ini cepat atau lambat memicu timbulnya klaim kebenaran monolitik, yang turut memicu munculnya pertikaian dan konflik di antara agama, sehingga timbul perpecahan di antara pemeluk agama itu sendiri, baik dalam skala mikro regional maupun makro, nasional bahkan internasional.
Pemersatuan antara yang ideal dengan kenyataan sosial religius di masyarakat dirasa belum menunjukkan perkembangan yang cukup berarti. Persoalan  inilah barangkali dapat menjadi daya dorong mendeskripsikan gagasan Quran tentang pluralisme dengan jalan landasan teologis, etis dan filosofisnya.