Mohon tunggu...
Hariman A. Pattianakotta
Hariman A. Pattianakotta Mohon Tunggu... Pemuka Agama - Penyuka musik

Bekerja sebagai Pendeta dan pengajar di UK. Maranatha

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Mengenang Hatta di Pulau Banda

7 Desember 2020   15:00 Diperbarui: 7 Desember 2020   15:04 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Muhammad Hatta, Proklamator dan Wakil Presiden Republik Indonesia yang pertama. Mengecap pendidikan di negeri Belanda, namun semangat anti kolonialismenya tetap membara.

Perlawanan Hatta terhadap penjajah membuat ia dibuang ke pulau Banda. Bumi pengasingannya ini penuh dengan pala.

Alam Banda begitu subur dan indah luar biasa. Hamparan laut bening membiru. Ikan-ikan berdendang riang di teluk-teluk yang tenang.

Dibuang ke Banda sama halnya dengan diceploskan ke dalam surga. Namun, apalah arti memiliki alam yang indah, namun kita sendiri tidak bisa menikmatinya? Apa artinya tanah yang subur dan lautan penuh ikan jikalau yang punya hidupnya tidak sejahtera?

Maka, penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan. Didorong oleh keinginan luhur inilah Hatta dan para pahlawan lain berjuang menentang kolonialisme dan demi Indonesia merdeka.

Menjelang kemerdekaan, Hatta, sang demokrat sejati itu membayangkan Indonesia sebagai negara federal. Perjumpaan Hatta dengan realitas Indonesia yang plural membuat ia yakin dengan federalisme.

Di Banda, Hatta berjumpa dengan manusia Maluku Banda yang berbeda secara kebudayaan dengan orang-orang di Sumatera atau pun Jawa. Karena itu, imajinasi Hatta tentang negara federal sangat cocok dengan kondisi kultural-antropologis Indonesia.

Pandangan Hatta itu berbeda dengan Soekarno. Proklamator yang satu ini lebih mendambakan negara kesatuan yang integralistik. Integralisme Soekarno inilah yang akhirnya menang.

Gambaran negara kesatuan ala Soekarno itu bisa bertahan sampai hari ini. Namun, integralisme tersebut telah menciptakan ketimpangan antara Jawa dan luar Jawa, Barat dan Timur, pusat dan daerah.

Sistem bernegara yang masih dianut sampai hari ini memang tidak mampu menjamin kesetaraan dan keadilan. Hegemoni dan marginalisasi terjadi. Orang-orang di Papua masih tertinggal, kendati alam Papua begitu kaya. Maluku dan Banda pun demikian.

Padahal, sejak Reformasi bangsa ini telah meluncurkan paket otonomi. Papua bahkan mendapatkan paket otonomi khusus. Namun, hal tersebut tidak cukup mendorong kemajuan daerah-daerah di Timur Indonesia. ,

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun