Mohon tunggu...
HARDIAN DAVID FACHRHESI
HARDIAN DAVID FACHRHESI Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Semangat

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Setara? Ketimpangan yang Tak Kunjung Sirna

30 Oktober 2020   20:00 Diperbarui: 30 Oktober 2020   20:07 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Kesetaraan gender masih menjadi tabu di berbagai kalangan masyarakat. Mereka menganggap bahwa Tuhan telah mentakdirkan bahwa jenis kelamin memiliki tugasnya masing-masing dan tidak bisa di ganggu gugat. Mereka memaksa agar laki-laki dan perempuan berada di zona nyamannya saja. Hanya lurus dan tidak boleh memiliki variasi dalam hidupnya. Pria yang hanya fokus pada pekerjaan dan wanita hanya fokus pada dunia perdapuran. Padahal sejatinya, manusia boleh saja berkreasi dalam hidupnya, seperti memilih pekerjaan, agama, pendidikan, dan lain-lain.

Pemaknaan terhadap istilah kesetaraan gender ini menjadi sebuah ketimpangan antara keadaan dan kedudukan perempuan dan laki-laki yang ada di lingkungan masyarakat. Hal ini timbul karena perempuan memiliki kesempatan terbatas dibandingkan dengan laki-laki untuk berperan aktif dalam berbagai aktivitas yang terjadi di masyarakat seperti kegiatan ekonomi, sosial-budaya, pendidikan, organisasi, dsb.

Keterbatasan ini terjadi karena adanya nilai dan norma di masyarakat yang membatasi ruang gerak perempuan dalam melakukan aktivitas yang ada di masyarakat. Gender juga memiliki perbedaan bentuk apabila sudah masuk dalam ranah adat-istiadat, kepercayaan, dan kebiasaan masyarakat yang berbeda-beda, misalnya, di hampir setiap masyarakat pekerjaan rumah tangga mayoritas dilakukan oleh perempuan, sedangkan di perkotaan, disuatu rumah tangga sangatlah lumrah apabila perempuan dan laki-laki saling membagi tugas rumah tangga.

Gender juga berubah dari waktu ke waktu karena adanya  perkembangan  yang mempengaruhi nilai-nilai dan norma-norma masyarakat tersebut, misalnya, pada saat ini banyak sekali perempuan sudah bisa menjadi kepala di sebuah organisasi bahkan menjadi kepala di bidang politik dan pemerintahan. Ini membuktikan bahwa perkembangan sangat mempengaruhi ketimpangan-ketimpangan yang lalu.

Masalah ini sangatlah rumit, karena pembagian tugas antara laki-laki dan perempuang tidak menemui titik terang karena kebanyakan aktivitas sudah bisa dilakukan oleh keduanya. Di Indonesia, kesetaraan gender sangat dirasakan oleh kaum perempuan.

Sebenarnya ketimpangan gender yang merugikan wanita ini sangat merugikan masyarakat secara menyeluruh. Mengapa begitu, apabila perempuan tertinggal maka mereka tidak akan bisa sejajar dengan laki-laki dan mengakibatkan hubungan yang tidak berimbang dalam kehidupan keluarga maupun sosial.

Tuntutan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan ini harus direspon secara proporsional baik dari pihak laki-laki maupun perempuan agar isu kesetaraan ini menemui titik ujungnya. Maka untuk merespon isu kesetaraan adalah dengan cara memperjuangkan keseimbangan gender, menguntungkan kedua gender, memberikan kesempatan yang sama kepada kedua gender, dan juga memberi keadilan yang sama pada kedua gender. Dengan menyikapi isu kesetaraan ini, maka kita juga mendukung terwujudnya kesejahteraan yang ada dimasyarakat secara umum, karena pada beberapa tahun silam, isu kesetaraan ini sangatlah sensitif.

Dahulu ketimpangan gender ini sangatlah terlihat jelas seperti contoh, mendahulukan laki-laki daripada perempuan untuk melanjutkan studi, sehingga banyak anak perempuan pada zaman dulu yang putus sekolah. Menyikapi permasalahan kesetaraan laki-laki dan perempuan memang merupakan suatu keharusan. Memperjuangkan kesetaraan ini merupakan perhatian yang harus diperjuangkan berbagai pihak, apakah pihak pengambil kebijakan (pemerintah), lembaga swadaya masyarakat, maupun unsur-unsur lain sebagai pelaku itu sendiri melalui pemantapan kelembagaan secara maksimal demi terwujudkan pembangunan yang adil dan setara bagi laki-laki dan perempuan.

Apakah masalah ini bisa berakhir? Bisa saja apabila kita sadar bahwa kita ini adalah mahluk sosial yang hidupnya juga bergantung pada orang lain. Di tulis pada sila kedua yang berbunyi "keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia".

Dalam sila kedua tersebut disebutkan kata "seluruh" yang berarti bukan hanya laki-laki atau perempuan yang mendapat keadilan, tetapi keduanya harus juga mendapat keadilan yang sama. Menghapus pemikiran-pemikiran zaman dulu yang menyebabkan masyarakat sekarang masih terdoktrin akan kebiasaan lama yang untuk zaman sekarang tidaklah pas. Zaman sekarang semua kegiatan bisa dilakukan oleh laki-laki dan perempuan.

Laki-laki bisa masak dan perempuan juga bisa menjadi ketua partai. Lembaga pemerintah juga harus memberikan perhatian lebih kepada ketimpangan gender ini, karena yang hanya bisa mengatur berjalannya aturan dan hukum hanyalah pemerintah. Pemerintah tidak boleh diam atas ketimpangan ini, jika di biarkan terus menerus maka perempuan akan terus menerus berada di bawah laki-laki dan tidak bisa sejajar, seperti memberikan pendidilkan kepada perempuan yang sudah putus sekolah di berbagai daerah agar mereka juga bisa mengedukasi para laki-laki.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun