Mohon tunggu...
Hanvitra
Hanvitra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas

Alumnus Departemen Ilmu Politik FISIP-UI (2003). Suka menulis, berdiskusi, dan berpikir.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mal dan Eksistensi Manusia

17 Juli 2018   10:04 Diperbarui: 17 Juli 2018   10:11 189
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Mal bukan hanya sekedar tempat belanja seperti halnya pasar. Mal adalah tempat bereksistensi. Tempat untuk menunjukkan keberadaan diri seorang anak manusia. Mal adalah tempat berinteraksi. Mal adalah sebuah ruang publik. Seorang manusia pasca modern berusaha menjadikan dirinya sebagai budak kapitalisme modern di sebuah mal.

Kajian mal sudah banyak dilakukan oleh pakar-pakar dari berbagai bidang. Bagi seorang pakar pemasaran, mal adalah tempat yang sangat efektif untuk menjual berbagai macam barang. Gaya hidup yang dikomodifikasikan menjadikan produk-produk seperti pakaian, makanan, barang elektronik, dan pernak-pernik lainnya laris terjual. Mal adalah sebuah tempat untuk menjadikan "hidup lebih hidup". Tentu itu semua tidak gratis. Mal adalah tempat bercinta. Mal adalah tempat berkasih-sayang.

Bagi para pakar ekonomi, mal melambangkan pertumbuhan ekonomi yang meningkat. Para pakar ekonomi sangat senang dengan mal karena ini berarti daya beli masyarakat meningkat dan ini juga berarti berita bagus bagi perekonomian. Mal adalah unit ekonomi yang efektif untuk mendongkrak daya belanja masyarakat. Ekonom tidak pernah mempertanyakan konsekuensi moral dari sebuah mal. Mereka hanya melihat dari sisi ekonomi. Yang penting, permintaan akan barang dan jasa meningkat.

Bagi para sosiolog dan antropolog, mal adalah tempat yang unik. Melambangkan interaksi sosial yang telah dikomodifikasi. Mal, menurut Akbar S. Ahmed, adalah kuil manusia modern. Tempat seorang manusia mengorbankan dirinya di altar kapitalisme global. Mal adalah bentuk dari pelupaan yang efektif terhadap kondisi sosial ekonomi di sekitarnya. Mal adalah bentuk materialisme yang nyata. Kehidupan di mal adalah kehidupan yang semu. Kehidupan yang didominasi oleh libido dan syahwat kebendaan.

Bagi kalangan agamawan, mal adalah perlambang kehidupan duniawi yang melenakan dan membuat manusia melupakan Tuhan dan ibadah. Mal melambangkan kehidupan materialistik yang berbeda dengan asketisme yang diajarkan agama.

Mal berbeda dengan pasar. Jika pasar adalah bentuk tradisional dari sebuah aktivitas berbelanja, mal adalah bentuk modern dari pasar yang telah dikomodifikasikan. Mal merupakan patologi manusia modern. Manusia yang masuk ke dalam mal telah terserap kepada kebudayaan kapitalisme modern. Ia adalah konsumen. Ia tidak lagi manusia. Kapitalisme modern telah mentransformasi manusia sebagai makhluk Tuhan menjadi makhluk materialisme. Hubungan sosial yang ada di mal adalah relasi keuangan. Yang punya uang dialah yang mampu menikmati dunia. Sedangkan yang tidak punya uang hanya beranda-andai untuk memiliki segala yang ada di mal.

Oleh karena itu, mal bertingkat-tingkat jenisnya. Ada mal untuk kalangan superkaya, ada mal untuk kalangan menengah, dan ada mal untuk kalangan menengah ke bawah. Mal adalah bentuk kapitalisme modern yang licik dan mendiskriminasi manusia sesuai dengan tingkat sosial ekonominya. Di mal, berbagai macam transaksi dijalankan.

Mal jelas bukan pasar yang demokratis. Mal adalah bentuk differensiasi manusia sesuai dengan tingkat kehidupannya. Di  dalam mal, kemanusiaan seseorang menjadi hilang. Mal adalah tempat penyakit manusia modern. Di dalam mal, identitas seseorang adalah identitas palsu. Manusia modern menyamarkan dirinya di dalam sebuah mal di balik gemerlapnya barang-barang konsumsi. Dengan bereksistensi di mal, seorang manusia modern berharap dapat menghilangkan stress yang menghampirinya.

Mal bagi manusia modern adalah tempat rekreasi yang efektif menurunkan kadar kepenatan. Manusia modern dipuaskan hawa nafsunya dengan melihat-lihat berbagai macam barang. Sejatinya, tidak ada kesejatian di mal. Semua menyamarkan diri di balik pakaian dan pernak-pernik kemewahan dunia. Mal sejatinya adalah dunia yang melenakan. Mal adalah bentuk dari pemuasan syahwat manusia.

Untuk kembali kepada fitrahnya dari patologi modern, manusia harus kembali kepada Tuhan yang Maha Esa, tempat bersimpuh dan berdoa. Manusia harus kembali kepada kemanusiaannya. Manusia harus kembali kepada agama. Manusia kembali kepada hakikat keberadaan dirinya manusia di bumi. Sebagai khalifah Allah di bumi! Salam.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun