Mohon tunggu...
Muna Handifo
Muna Handifo Mohon Tunggu... Lainnya - single fighter street fighter

petani tradisional, pernah terdampar di pasar tradisional, terkungkung di warung tradisional dan melakoni street marketing

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kasus Afriani, Teguran dan Pelajaran Buat Bangsa!

25 Januari 2012   14:14 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:28 722
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Sekejap saya terdiam menyaksikan muka yang di pertontonkan salah satu stasiun TV swasta dua malam yang lalu. Melihat muka yang membuat saya berpikir, ada yang mirip muka tersebut, sekian lama saya berpikir saya tidak mendapatkan jawaban hingga paginya saya membuka internet. Namanya Afriani Susanti, sebuah nama yang mengingatkan saya pada seorang kawan sekitar 8-10 tahun yang lalu.

Ada beberapa kemiripan sama-sama bertubuh tambun, nama belakang yang sama serta usia yang sepantaran. Saya tidak mengenal persis nama asli teman tersebut. Dari mukanya memang tidak sama persis tapi perbedaan waktu antara 10 tahun yang lalu dengan sekarang bisa saja mengakibatkan sedikit "metamorfosa" bentuk muka, setidaknya dengan sedikit perawatan bisa mengubah penampilan. Saya berharap semoga bukan Anti yang saya kenal. Saya mencoba mencari informasi seputar Afriani, ternyata wanita kelahiran Jakarta 29 tahun silam. Ada sedikit kelegaan bahwa Anti yang saya kenal bukan Afriani Susanti.

Saya mulai berpikir, andai Anti yang saya kenal tersebut adalah Afriani Susanti yang menewaskan 9 orang dalam sekali tabrakan tersebut. Bagaimana reaksi saya. Pasti saya akan prihatin, memberikan dukungan moral dan kekuatan untuk menghadapi musibah (terserah di baca apa) tabah dan bersabar seraya memberi dorongan untuk segera sadar atas prilaku yang tak terpuji tersebut.

Di saat yang sama saya berpikir seandainya saya ada di pihak keluarga korban, bagaimana reaksi saya, pasti marah, kecewa, jengkel dan mungkin menghujat pelaku. Itu adalah sebuah kewajaran, ekspresi dari kekecewaan, kesedihan, luapan dan antipati karena pelaku telah menghilangkan nyawa korban, menghilangkan jalinan hubungan antara seorang manusia dengan keluarganya (ayah, ibu, saudara dll).

Afriani Susanti, gadis malang yang harus bersiap-siap merangsek di penjara, merasakan gelapnya kamar sel. diruang yang sempit. Segala kebebebasannya yang biasanya di nikmatinya kini menjadi terlarang di ruang yang sangat sempit. Dampak dari tak kuatnya menahan gejolak menikmati zat haram yang berujung pada kematian sembilan nyawa manusia dalam waktu yang singkat. Dia adalah korban dari kejamnya narkoba, dia adalah korban dari hasil persetubuhan antara modernisasi dengan arus informasinya yang kian tak terbendung dengan godaan rayuan kenikmatan zat psikotropika. Bisa jadi ia adalah buah dari kegagalan pendidikan zaman kini entah itu di ruang keluarga, di sekolah ataupun di lingkungan, bisa jadi ya adalah korban kebebasan yang kebablasan yang masih kita dengung-dengungkan sampai detik ini. Apriliani adalah korban dari gaya hidup hedonis yang di impor dan menjadi kebanggaan baru. Dia adalah korban peradaban masa kini.

Yang aneh, lucu, menggelitik , miris dan menyedihkan, adalah reaksi kita yang ikut-ikutan kebablasan menghakimi seorang Afriani Susanti. Saya mencoba mengikuti di berbagai media, twitter, facebook dan mungkin termasuk kompasiana. begitu masifnya serangan membabi buta kita-kita yang merasa bermoral hari ini kepada seorang jiwa yang mungkin pantas saja kita "serang". Namun di balik itu ada pertanyaan terselip yang harusnya kita hadirkan di dalam benak kita begitu muliakah kita hingga harus menghakimi membabi-buta seperti itu. Begitu sucikah kita hingga mencibir begitu masif.

Kalau saat ini kita seorang "suci-mulia", ingatlah bahwa proses perputaran kehidupan bisa membolak-balikan keadaan. Tidak ada yang abadi dari kebanggaan yang kita miliki, sekarang kita alim besok kita bisa "kesetanan". sekarang kita "kesetanan" besok bisa jadi menjadi alim. Pertarungan kita melawan kehidupan harus senantiasa kita sikapi dengan rendah hati supaya tidak rendah diri.

Afriani mungkin saja satu sosok yang di tegur Tuhan untuk menjadi pelajaran bagi kita, mungkin banyak "Afriani-Afriani" lain yang tak kuat menahan godaan zaman yang begitu masif menggerogoti tatanan kehidupan yang ada, cuma bedanya Afriani sial, apes, atau mungkin di tegur.

Afriani hanyalah korban yang kebetulan apes, Afriani harus memanfaatkan momentum peringatan yang begitu mencabik-cabik perasaan keluarga korban. Tuhan punya banyak cara untuk menyentuh hati kita agar kembali kepada-Nya, semoga kita bisa mengambil pelajaran berharga. Dan keluarga korban semoga diberi ketabahan yang luar biasa dalam menghadapi ujian berat ini. Dan aparat hukum harus mampu memproses kasus secara adil. Semoga!!!

Kasus yang di hadapi Afriani adalah peringatan besar buat kita sebagai bangsa, mulai dari negara sebagai lembaga dan institusi-institusi di dalamnya. Peringatan buat kita dalam memberi pendidikan pada anak, peringatan buat penegak hukum yang menangani kasus-kasus psikotropika, dan akhirnya semoga menjadi pelajaran berharga buat kita untuk "merenung sejenak"!

Salam Kompasiana.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun