Mohon tunggu...
Ragil WIrayudha
Ragil WIrayudha Mohon Tunggu... Freelancer - melihat, mencatat dan mengingat

Hidup hanya sekali namun sejarah akan mengingatmu selamanya.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Menjadi Marxis Tanpa Menjadi Komunis? Ngapusi!

24 April 2016   07:40 Diperbarui: 24 April 2016   10:10 72
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Panjang jalan, sepanjang jalan kopi dari Ekselsa Batang, Arabika Gayo Aceh, dan kini  Arabika Toraja.

.

Voltaire dalam masa lalunya yang kelam diantara  kemalangannya, sebab tidak menjadi seorang muslim sampai matinya pernah berujar, nilailah seorang lelaki dari pertanyaannya; daripada jawabannya.

.

Saya teringat, kurang lebih tiga belas tahun silam, “Bisakah menjadi seorang marxis tanpa menjadi komunis?” Pertanyaan itu dahulunya sengaja dibulatkan menjadi sebuah diskursus massal. Satu upaya untuk meyakinkan bahwa komunisme telah sirna dari NKRI.

Yang patut diberi garis merah, Karl Marx sendiri mengharuskan filsafat sebagai sebuah aksi, bukan semata pemikiran. Karl Marx menghendaki sebuah pergerakan yang besar, pengambilalihan secara sistematis kuasa tunggal kepemilikan modal.[caption caption="via Abu Rimba"][/caption]

Bagai bebek yang digiring menuju penjagalan pikiran, kaum buruh dan petani dimobilisasi, diberi angin untuk mencipta mimpi; tentang satu periode kemerdekaan dan peluang leyeh-leyeh senasib-sepenanggungan. Namun apa? Karl Marx lupa, sebagai seorang Yahudi ia tidak akan berpikir bahwa kehidupan ini adalah jembatan menuju alam pertanggungjawaban. Marx  menggelontorkan peduli seutuhnya hanya tentang perut, tidak lebih. Dan manusia-manusia yang tertipu akan larut kedalamnya, tanpa pernah menjadi apapun yang lebih kecuali sekumpulan teriakan kosong di jalanan. Diperah amarahnya oleh Kamerad yang lihai mengail kesempatan mencipta kekuasaan dari kesengsaraan. Bangsa marginal dipeluk dalam palu arit, dipersilakan menebas siapa saja, leher yang tidak sepaham dengannya. Setelah darah menjadi percikan dimana ada, Kamerad menghunuskan pedang miliknya sendiri, menghabisi kesengsaraan yang melekat pada manusia. Tak tersisa kecuali tirani. Begitulah marxisme menjalani sejarahnya sebagai komunis.

Maka, menjadi seorang marxis tanpa menjadi komunis adalah khayal dan tipu daya Kamerad masa kini yang mencoba mencari peruntungan di medan perang pikiran.

Saya pun teringat pula, seseorang yang berkata ketika itu kepada saya: “(dahulu) saya kiri tapi tidak (kere)”. Kawan-kawannya mengais ijasah di Oxford, lalu pulang membentuk PRD.

Benarlah, PRD dibentuk karena mendapat izin dari kebodohan rezim sontoloyo. Setelahnya, ia hanya menjadi parpol rongsokan, dan itulah yang direncakan sejak mula, karena tujuan utamanya adalah tiket untuk masuk pada seluruh jenis ormas yang mungkin dan bersedia menampung para pengusung marxisme yang kini terlewat mesra dengan seluruh pemilik modal.

Kemana perginnya yang katanya Marxis sejati, kemana menguapnya para merah yang ngakunya santri PKI?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun