Mohon tunggu...
Hanny Setiawan
Hanny Setiawan Mohon Tunggu... Administrasi - Relawan Indonesia Baru

Twitter: @hannysetiawan Gerakan #hidupbenar, SMI (Sekolah Musik Indonesia) http://www.hannysetiawan.com Think Right. Speak Right. Act Right.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Apa yang Membuat 2014 Berbeda dengan 2004 & 2009?

4 Oktober 2014   09:00 Diperbarui: 17 Juni 2015   22:26 130
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pemilu 2004 tidak pernah terlupakan bagi saya dan mungkin bagi seluruh rakyat Indonesia.  Untuk pribadi saya, setelah 7 tahun di negeri orang, tahun itu saya pulang ke negeri ini dengan semangat membangun bangsa.  Untuk negeri ini, pertama kalinya bangsa ini memilih secara langsung Presidennya.  SBY muncuk menjadi the rising star, bersama partai Demokrat.

2004 itulah pertama kalinya SBY dan Megawati memulai ketegangan hubungan.  Megawati merasa SBY bermain dibelakang dan bohong.  Partai Golkar berhasil "kembali" dari kubur, setelah 1999 PDI-P menjadi partai garda depan yang menggulingkan regime Orba. 2004 mencatatkan bahwa SBY-JK mengalahkan Megawati-Muzadi dengan telak.

2009 SBY-Boediono melawan Megawati-Prabowo dan JK-Wiranto. SBY-Boediono menang telak 1 putaran.  Dengan angka yang luar biasa 70%.  Partai Demokrat menjadi pemenang dan menguasai parlemen.  Yang menarik adalah, pelantikan SBY-Boediono dipimpin oleh Taufik Kiemas dari PDI-P

2 periode reformasi yang mampu memperlihatkan wajah demokrasi Indonesia yang Indonesia.  Biarpun tuntuan ke MK juga ada, tapi ketegangan dan kekeluargaan Indonesia terasa masih kental. Tapi mengapa 2014 ini beda sekali? Mulai dari Pilpres sampai sekarang tidak berhenti bahkan semakin cetar membahana kekuatan untuk menjegal presiden terpilih dengan segala upaya termasuk mengembalikan tata cara gaya Orba demi kepentingan kekuasaan.

***

Bagaikan ibu mengandung, ibu pertiwi baru mulai mengandung bayi "Indonesia Baru" di 2004.  Waktu itu eforia perubahan baru dimulai.  Generasi-generasi baru di luar Orba baru bertumbuh baik secara politis maupun demografi. Setelah 10 tahun mengandung bayi itu semakin besar dan akhirnya 9 Juli 2014 lahirlah bayi Indonesia Baru.  Seorang Jokowi yang tidak ada ikatan apapun dengan regime Orba muncul mengambil tongkat estafet PERUBAHAN.

Disinilah semua permasalahan akhirnya muncul dan menumpuk.  Ketika Jokowi harus dihadapkan kepada tiga opsi pilihan Idealis, Realistis, atau Opportunis maka rupa-rupanya Jokowi memilih opsi Idealis.  Tidak heran bahkan pengamat LIPI Hermawan Sulistyo dan juga mantan ketua TGPF (Tim Gabungan Pencari Fakta) yang notabene membuka rahasia Prabowo ke publik (lihat video) mengatakan di Mata Najwa bahwa Jokowi sebaiknya lebih realistis, jangan terlalu idealis tapi juga jangan jadi opportunis.  Nasihat menarik.

***

3 opsi pilihan Jokowi itu akan menentukan suasana politik di Indonesia.  Dan suasana keras ini memberikan bukti tersendiri bahwa apa yang dikatakan Hermawan itu benar.  Jokowi tetap pegang idealismenya.  Dan ini membuat semua lawan politiknya mau tidak mau harus ada di luar garis DEMARKASI.  Karena idealisme artinya menarik garis yang jelas.  Policy ini beda dengan SBY yang semua dibuat abu-abu.

Apakah pilihan Jokowi ini benar atau salah?  Lagi-lagi sejarah yang akan mencatat.  Bagi saya yang memilih Jokowi, apabila benar bahwa semua tensi politik ini meninggi karena Jokowi sama sekali tidak mau kompromi, maka saya support sepenuhnya di jalur idealisme.  Jalur yang keras karena ini adalah awal dari sebuah perubahan total.   Meloby politik tidak berarti melacurkan idealisme.  Apabila memang harus kalah dan tidak duduk di tampik pimpinan, bagi saya itu jauh lebih baik.   It's not about winning, it's about doing the right thing.

Menjadi realistis harus, karena apabila tidak idealisme akan menjadi mimpi utopia.  Tapi realistis yang tidak melanggar nilai-nilai perubahan yang di anut.  Sekali Jokowi "shake hand with the devil", selesai sudah.  Jokowi akan terikat selamanya dengan kontrak-kontrak politik yang pro status quo.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun