Fenomena lulusan perguruan tinggi yang bekerja tidak sesuai dengan jurusannya bukan hal baru, baik di Indonesia maupun di negara lain. Namun, cara masing-masing negara menyikapinya sangat berbeda. Jerman, misalnya, dikenal memiliki sistem ketenagakerjaan yang fleksibel dan adaptif. Di sana, proses switch career—atau peralihan karier—bukanlah hal tabu. Pemerintah Jerman justru memfasilitasi warganya untuk berpindah jalur karier dengan membuka banyak pelatihan dan lowongan kerja lintas sektor. Ini dilakukan sebagai respons terhadap krisis kekurangan tenaga kerja yang mereka alami, terutama karena generasi muda yang jumlahnya semakin sedikit.
Berbeda dengan Jerman, Indonesia menghadapi tantangan besar dalam pasar tenaga kerja. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), lebih dari 1,2 juta penduduk usia 25–29 tahun sedang mencari pekerjaan. Sayangnya, jumlah lowongan kerja yang tersedia masih belum mampu menampung semua pencari kerja ini. Salah satu penyebabnya adalah terbatasnya lapangan kerja yang relevan dengan jurusan kuliah para lulusan. Hal ini semakin diperparah di daerah-daerah yang akses industrinya masih minim. Akibatnya, banyak lulusan terpaksa merantau ke kota besar, mencoba peruntungan dengan membuka usaha, atau bahkan menganggur dalam waktu lama.
Tak heran bila banyak fresh graduate akhirnya mengubah cara pandang mereka terhadap dunia kerja. Daripada terus menganggur, mereka memilih bekerja di bidang apa pun yang tersedia. Contohnya, lulusan Teknik Elektro yang akhirnya bekerja di bank atau perusahaan yang tidak ada hubungannya dengan keilmuannya. Sekilas terlihat tidak logis, namun inilah realita. Perusahaan kini cenderung memasang kualifikasi tinggi dan spesifik, sementara lulusan belum tentu dibekali keterampilan praktis yang sesuai dengan kebutuhan industri. Kondisi ini membuat mereka harus bekerja di luar bidang keilmuannya demi bisa bertahan hidup.
Lalu, apakah bekerja di luar jurusan itu salah? Tentu tidak selalu. Banyak dari mereka justru menemukan jalur karier baru yang lebih cocok dengan minatnya. Mereka mendapatkan skill tambahan yang bisa menjadi bekal untuk karier jangka panjang. Namun bagi mereka yang masih ingin berkarya di bidang yang linier dengan pendidikannya, peluang tetap ada. Kuncinya adalah peningkatan kompetensi. Pelatihan tambahan, sertifikasi profesi, hingga kemampuan bahasa asing bisa menjadi nilai lebih saat bersaing di pasar kerja.
Fenomena switch career di Indonesia juga dipicu oleh faktor sejak pemilihan jurusan kuliah. Banyak yang memilih jurusan bukan berdasarkan minat pribadi, tetapi karena tekanan orang tua, ikut-ikutan teman, atau hanya karena terdengar "menjanjikan". Setelah lulus, baru sadar bahwa pekerjaan yang ditemui tidak sesuai dengan passion mereka. Belum lagi tantangan di dunia kerja seperti lingkungan yang tidak sehat, atasan yang terlalu menuntut, atau beban kerja yang mengganggu keseimbangan hidup. Bagi Generasi Z yang sangat memprioritaskan kesehatan mental dan kualitas hidup, situasi seperti ini menjadi alasan kuat untuk mengubah arah karier meski harus mulai dari nol.
Untuk mengurangi kasus switch career yang tidak direncanakan, upaya harus dimulai sejak awal. Pemilihan jurusan kuliah harus berdasarkan kesadaran diri dan pemahaman akan potensi pribadi. Tapi ini tidak cukup. Pemerintah juga harus berperan aktif dengan menyediakan peta kebutuhan tenaga kerja di berbagai sektor industri, serta menciptakan lapangan kerja yang sesuai dengan perkembangan zaman. Sementara itu, universitas harus membangun lebih banyak kerja sama dengan dunia industri agar lulusannya bisa langsung terkoneksi dengan dunia kerja—melalui magang, pelatihan, hingga jalur rekrutmen langsung.
Kolaborasi antara individu, lembaga pendidikan, dan pemerintah adalah kunci menciptakan transisi yang lebih mulus dari pendidikan ke pekerjaan. Jika ini dilakukan secara sistematis, bukan tidak mungkin kasus "kuliah di A, kerja di Z" akan berkurang, dan efisiensi investasi sumber daya manusia di Indonesia bisa meningkat secara signifikan.
Pernah mengalami switch career? Atau justru merasa salah pilih jurusan sejak awal? Bagikan pengalamanmu di kolom komentar!
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI