"Kau satu terkasih
Kulihat di sinar matamu
Tersimpan kekayaan batinmu
Ho, di dalam senyummu
kudengar bahasa kalbumu
mengalun bening menggetarkan
kini dirimu yang selalu
bertahta dibenakku
dan aku 'kan mengiringi
Bersama disetiap langkahmu
Percayalah
Hanya diriku yang paling mengerti
kegelisahan jiwamu, kasih
Dan arti kata kecewamu
Kasih, yakinlah
Hanya aku yang paling memahami
Besar arti kejujuran diri
Indah sanubarimu, kasih
Percayalah"
Puitis ini bukan sekadar imajinasi, melainkan nuansa yang hadir nyata kemarin (9/9/2025) di Gedung Djuanda, Jakarta. Ratusan pejabat Kementerian Keuangan berbaris rapi, mengantarkan Sri Mulyani Indrawati menuruni tangga utama. Lagu "Bahasa Kalbu" mengalun dari bibir mereka, berubah menjadi paduan suara sendu. Adegan itu melampaui sekadar seremoni birokrasi. Ia menyerupai ritual emosional, semacam liturgi perpisahan yang menggetarkan.
Sri Mulyani berdiri di anak tangga tengah, sosoknya menjelma pusat gravitasi ruangan. Kebaya merah jambu muda dan sanggul rapi membuatnya seperti tokoh yang dipahat dalam memori kolektif. Air matanya jatuh perlahan, berulang kali ia menyeka wajahnya, sementara pejabat di bawahnya ikut terisak. Tangga yang biasanya fungsional berubah jadi altar simbolik, tempat sebuah drama kuasa dipentaskan.
Dalam perspektif komunikasi kritis, peristiwa itu adalah "teater birokrasi." Tubuh dan ruang dipakai untuk menciptakan makna. Barisan pejabat, lantunan lagu, dan langkah perlahan menuruni tangga adalah koreografi yang meneguhkan otoritas sekaligus membangun mitos tentang kepemimpinan.
Lagu "Bahasa Kalbu" sendiri menambah dimensi emosional. Ia seakan berkata bahwa ada sesuatu yang tak dapat disampaikan oleh kata-kata, hanya bisa dirasakan melalui hati. Dengan lagu itu, perpisahan Sri Mulyani dibingkai bukan dalam ranah administratif, melainkan emosional. Alih-alih mengundang perdebatan rasional tentang warisan kebijakan fiskal, defisit anggaran, atau ketimpangan sosial-ekonomi, yang ditonjolkan adalah narasi kasih sayang, pengorbanan, dan kehilangan. Perpisahan seorang teknokrat diperlakukan layaknya kepergian seorang tokoh bangsa.
Air mata yang menetes pun menjadi medium komunikasi kuasa. Dalam tradisi komunikasi kritis, hal itu bisa dibaca sebagai emotional labor ekspresi duka yang tidak hanya bersifat personal, melainkan juga ritual loyalitas. Dengan cara itu, struktur hierarki diperkuat. Sri Mulyani dilepaskan bukan semata sebagai mantan atasan, melainkan sebagai figur "ibu bangsa" yang dihormati dengan kepedihan bersama.
Tidak mengherankan jika media segera mengemas peristiwa itu dengan narasi puitis. Kamera merekam wajah basah, suara koor yang bergetar, dan langkah pelan di tangga. Publik pun disuguhi citra perpisahan yang melankolis, yang menggiring memori kolektif ke arah sentimental. Dengan begitu, Sri Mulyani dilekatkan pada identitas emosional, bukan hanya catatan kebijakan.
Namun, komunikasi kritis menuntut kita melampaui tangisan dan lagu. Pertanyaannya: apakah kesedihan itu tulus, atau bagian dari dramaturgi simbolik birokrasi? Mengapa perpisahan pejabat publik ditampilkan dengan intensitas yang menyerupai liturgi? Apakah dramatisasi emosional ini menutupi diskursus kritis tentang politik anggaran, relasi kekuasaan, dan kepentingan yang lebih besar di balik pergantian seorang menteri?
Air mata bisa menjadi jendela, tetapi juga bisa menjadi tirai. Ia dapat memperlihatkan ketulusan, tetapi sekaligus menutupi struktur kuasa yang sesungguhnya. Perpisahan Sri Mulyani, dengan "Bahasa Kalbu" sebagai latarnya, memperlihatkan bahwa birokrasi modern bekerja bukan hanya dengan angka dan regulasi, tetapi juga dengan simbol, ritual, dan afeksi. Dan mungkin, justru di balik lagu sendu itulah bahasa kekuasaan berbisik paling keras mengajarkan kita bahwa politik tidak hanya hidup dalam kebijakan, tetapi juga dalam tangisan.
Menurut saya, lagu "Bahasa Kalbu" yang dipakai bukan untuk membangun suasana emosional, tetapi menjadi cara untuk menunjukkan perasaan yang susah diungkapkan dengan kata-kata. Pemilihan lagu "Bahasa Kalbu", yang sangat emosional, dan koreografi perpisahan itu memperlihatkan bagaimana birokrasi menggunakan untuk membangun kesan kepemimpinan yang agung dan menyentuh.
Jadi, Artikel ini mengingatkan kita bahwa politik dan birokrasi itu bukan hanya tentang angka dan aturan, tetapi juga soal simbol dan emosi yang bisa mempengaruhi ke cara pandang masyarakat.