Mohon tunggu...
Hanik Maria Ulva
Hanik Maria Ulva Mohon Tunggu... Mahasiswa

Mahasiswa Komunikasi Penyiaran islam di UIN Sunan Kalijaga. Menulis untuk berbagi sudut pandang dan memperluas wawasan bersama.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ketika Fandom Bukan Lagi Soal Idola, Tapi Soal Aksi Nyata

14 Juni 2025   14:05 Diperbarui: 15 Juni 2025   16:32 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Freepik/Pikisuperstar

Siapa sangka, fandom yang kerap dihujat sebagai "alay" karena menari diiringi lagu Korea, justru bergerak paling cepat saat nyawa melayang di lapangan sepak bola? Pada 1 Oktober 2022, tragedi Kanjuruhan mengguncang Indonesia. Di tengah amarah dan duka yang menyelimuti, muncul solidaritas dari tempat tak terduga: penggemar BTS, atau yang dikenal sebagai Army. Dalam waktu singkat, mereka berhasil mengumpulkan ratusan juta rupiah untuk membantu para korban. Apa yang membuat hal ini mungkin?

Jawabannya terletak pada cara fandom bekerja, dan cara dunia sering kali meremehkannya. Fandom bukan cuma sekumpulan orang yang suka teriak-teriak di konser atau menangis melihat idol kesayangan tampil live. Mereka adalah komunitas digital yang solid, terlatih untuk bergerak bersama, terbiasa mengorganisir proyek sosial, dan punya ekosistem internal yang kadang lebih rapi dari organisasi kampus. Yang mereka idolakan memang boy band, tapi yang mereka pelajari adalah kerja sama, respons cepat, dan aksi kolektif.

Solidaritas dalam fandom dibentuk bukan oleh kesamaan tempat tinggal atau seragam yang sama, tapi oleh kesadaran emosi kolektif: ketika satu hal menyentuh hati satu orang, seluruh komunitas ikut bergerak. Maka ketika tragedi Kanjuruhan terjadi, empati itu meluas. Tidak butuh aba-aba. Tidak butuh selebaran resmi. Hanya butuh satu akun yang berkata, "Ayo kita bantu," dan semuanya mengalir seperti air.

Apa yang mereka lakukan bukan cuma penggalangan dana, tapi juga distribusi informasi, kolaborasi antar-fandom, dan pelaporan terbuka soal transparansi dana. Ini bukan pertama kalinya fandom berbuat sesuatu di luar urusan idola. Komunitas penggemar EXO pernah membangun sumur di daerah krisis air. Fans IU mendirikan perpustakaan. ARMY sebelumnya juga pernah mengorganisir proyek adopsi hutan. Semua ini dilakukan tanpa pamrih, tanpa label besar, bahkan seringkali tanpa diketahui publik luas.

Fandom bekerja secara silent but strong. Mereka tidak duduk di ruang pers, tidak punya panggung politik, tapi punya jaringan digital dan rasa kepemilikan sosial yang tinggi. Di era media sosial, inilah bentuk nyata dari budaya partisipatif: saat audiens tidak lagi hanya menyimak, tapi turut mencipta, bergerak, dan berdampak. Henry Jenkins menyebutnya sebagai participatory culture, sebuah konsep di mana batas antara produsen dan konsumen menjadi kabur. Dan fandom adalah salah satu representasi paling hidup dari konsep itu.

Budaya partisipatif yang dimiliki fandom juga memberi ruang bagi identitas. Bagi sebagian besar anggota fandom, menjadi bagian dari komunitas penggemar adalah bagian dari aktualisasi diri. Mereka bukan sekadar menyukai musik atau drama, tapi membangun hubungan, merasa memiliki, dan menemukan tempat untuk tumbuh. Ketika sebuah tragedi terjadi, rasa memiliki ini tak hanya diarahkan pada idola mereka, tapi juga kepada sesama manusia.

Itulah kenapa mereka bisa bergerak cepat. Karena di balik layar ponsel, ada rasa ingin berguna, ingin membantu, dan ingin punya andil dalam sejarah. Mungkin sebagian orang masih akan memandang fandom dengan sebelah mata. Tapi fakta menunjukkan, mereka telah menjadi kekuatan sosial baru yang sering kali lebih gesit dari lembaga formal.

Tentu, tidak semua fandom sebaik itu. Tidak semua aksi komunitas berlangsung ideal. Ada pula gesekan, konflik internal, atau tindakan reaktif yang mencoreng nama baik. Tapi apakah itu mengecilkan fakta bahwa komunitas ini mampu menunjukkan empati kolektif yang kuat? Tidak. Sama seperti organisasi manapun, fandom adalah ruang hidup: kompleks, dinamis, dan manusiawi.

Kini, kita hidup di zaman di mana kekuatan sosial tak melulu lahir dari institusi. Komunitas, bahkan yang terbentuk karena kecintaan pada musik Korea, bisa menjadi aktor penting dalam membentuk opini publik, memberi bantuan nyata, dan membangun semangat solidaritas. Dunia sudah berubah, dan cara kita memaknai "kepedulian" pun ikut bergeser.

Ketika batas antara "penggemar" dan "manusia sosial" menjadi cair, kita mulai melihat bahwa fandom bukanlah sekadar hiburan, tapi juga kekuatan. Tragedi Kanjuruhan memberi luka, tapi juga membuka mata, bahwa solidaritas bisa datang dari mana saja, bahkan dari mereka yang selama ini dianggap "berbeda".

Dan siapa tahu, suatu hari nanti, saat kita sendiri butuh uluran tangan, justru para penggemar itulah yang pertama kali datang membantu. Tanpa seragam. Tanpa instruksi. Tapi dengan hati yang penuh empati.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun