Mohon tunggu...
Hanif Muslim
Hanif Muslim Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Interdiciplinary Islamic Studies

Suka Travelling dan nulis di kereta

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Pers dan Kelisanan Sekunder Walter J Ong

4 Juli 2022   14:09 Diperbarui: 4 Juli 2022   14:14 224
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Apapun yang ingin disampaikan pada orang lain salah satu opsinya adalah melalui wadah pewartaan (pers) sebagai jembatan, apakah itu bentuknya suara (speaking) atau tanda tulisan (writing) atau sandi (sign). Termasuk dakwah yang akan disampaikan bisa melalui pers. Baik media cetak seperti koran, tabloid, atau majalah, maupun media visual yaitu televisi. Dua genre media itu menyampaikan warta kepada publik.  Banyak hal yang disampaikan mulai yang sifatnya entertainment, politik, ekonomi, sosial, budaya, bisnis, kelucuan, hingga soal ideologi. Sehingga makna pers tidak terlepas dari kebutuhan dan kepentingan, bahkan kepuasan publik.

Pers memiliki peran sentral dalam tata perubahan masyarakat kita. Melalui pers atau media pewartaan terjadi sirkulasi budaya, kepentingan, doktrin, hingga ideologi. Dalam arus demokratisasi, pers menjadi salah satu pilar demokrasi karena perannya mengkampanyekan demokrasi. Pers diyakini dapat mengawal demokrasi yang hakiki dalam suatu komunitas masyarakat. Ia dapat mengkonsolidasikan massa, melakukan provokasi, agitasi dan menyatukan orang yang memiliki pandangan sama tentang suatu hal.

Para pejuang pra-kemerdekaan juga berjuangan melalui pers. Misalnya yang dilakukan Raden Mas Djokomono (Tirtohadisoerjo) (1880-1918) melalui koran harian Medan Prijai. Abdul Rivai (1871-1933) mendirikan Bintang Hindia. Wahidin Soediro Husodo membentuk Retnodhoemilah berbahasa Jawa dan Melayu. HOS Tjokroaminoto mendirikan koran Oetoesan Hindia. Ahmad Dahlan mendirikan Suara Muhammadiyah. Dari situ lahir semangat nasionalisme dan patriotisme. Melalui bacaan-bacaan itu rakyat indonesia menyadari dirinya yang ditindas.

Upaya Soekarno, Hatta, Natsir dan Sjahrir untuk membakar semangat kebangsaan dan kebebasan tidak bisa dilepaskan dari kerja-kerja kejurnalistikan. Pada 1926 Soekarno mendirikan kelompok studi Algemene Studieclub serta jurnal Indonesia Muda. Ia menjadi editor majalah SI, Bendera Islam (1924-1927). Namun demikian colonial mengintimidasi kebebasan pers ini karena dianggap membahayakan status quo-nya.

Perjuangan di era pasca-kemerdekaan juga dibarengi penguasaan media. Buku Tanah Air Bahasa: Seratus Jejak Pers Indonesia mencatat beberapa tokohnya diantaranya: Nono Anwar Makarim, maktivis angkatan 66, mendirikan Harian Kami. Koran ini menginspirasi lahirnya koran dan majalah kampus, misalnya Gelora Mahasiswa di UGM, Mahasiswa Indonesia di Kampus UI. Mimbar Demokrasi di ITB, dan Gelora Mahasiswa Indonesia di Malang.Tak lupa Mahbub Junaedi juga mendirikan media yaitu Duta Masyarakat, Semua media ini hadir untuk mengontrol kemungkinan kesewenang-wenangan orde lama.

Pada tahun1950-an, komunitas pers mengalami peningkatan peran dengan terbentuknya IWMI (Ikatan Wartawan Mahasiswa Indonesia) yang diketua oleh T Yacob dan SPMI (Serikat Pers Mahasiswa Indonesia) dikomendani oleh Nugroho Notosusanto. Selanjutnya dua institusi itu melebur menjadi IPMI (Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia) pada 1955. Namun kejayaan ini tak berumur lama karena demokrasi terpimpin Sukarno berkehendak bahwa semua AD/ART pers mahasiswa menerapkan satu asas Manipol USDEK. Artinya pers harus menyuarakan aspirasi partai politik. Kemudian secara perlahan pers mahasiswa mengalami kemunduran.

Selama orde baru tidak ada media yang bebas dari pantauan rezim Suharto, segala pemberitaan dibatasi pada program-program pembangunan saja. Wartawan ditampung dalam PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) yang mengeluarkan kode etik versi pemerintah. Pencabutan surat izin penerbitan akan segera dilakukan jika media berani mengungkap belang pemerintah. Hingga muncul AJI (Aliansi Jurnalis Indonesia) dibentuk oleh Gunawan Muhammad dan kawan-kawan, sebagai tandingan PWI, menolak kebijakan yang mengkrangkeng wartawan dan kebebasan pers.

Disrupsi media sosial dan Gelombang Skeptisisme

Hari ini pers telah keluar dari kerangkengnya sebagaimana yang terjadi pada masa orde-baru. Sekarang ia memiliki kebebasannya dalam mangekspresikan beragam informasi. Namun jika kita lihat lebih presisi sepertinya ada pola norak pada kebebasan pers di tengah disrupsi media sosial  (medsos), yaitu setiap orang dapat ngepos informasi apapun, ini penting bagi kecepatan tersampainya suatu informasi, tetapi pada saat yang sama tak ada yang bisa memfilter dan memverifikasi semua informasi yang dipos itu. Dampak besarnya ialah pada ketidakpastian kebenaran informasi tersebut.

Dan sepertinya, alih-alih pers mencerahkan akan informasi yang beredar, justru membuat keruh suasana. Berita yang beredar lebih banyak hoaks ketimbang fakta. Laporan Badan Intelijen Nasional (BIN) menunjukkan bahwa 60 persen konten media sosial adalah berita bohong alias hoaks. Kita tentu sudah merasakan ini semua. Lebih-lebih kecenderungan masyarakat  kita pada hal-hal kontraversial dan menyita emosi. Mereka menshare setiap berita yang singgah di akunnya  tanpa memeriksa tanggal berita, isi berita, sumber berita, dan pers yang mempublikasikannya. Ini semua penting karena berkaitan dengan verifikasi berita. Tindakan mereka membagi berita hanya karena judul berita cocok dengan emosinya, dan ingin segera membulli di wallnya. Ini suatu peristiwa yang menyedihkan dan jika dibiarkan akan menjadi tragedi yang memilukan.

Saya ambil contoh misalnya seorang ustadz A membolehkan suatu perkara berdasar argumen dan tafsir kitab sucinya, tak puas lalu dicari ustad B yang tak sepakat dan mengharamkannya atau paling tidak memakruhkannya. Ekonom C setuju dengan pembangunan dan kebijakan ekonomi yang berjilid-jilid, tapi posisinya tak sesuai kebutuhan, maka dicarilah ekonom D yang kontra pembangunan dengan sedikit  memiliki keahlian memaki. Ahli politik E menyatakan bukan pencitraan, namun ditolak karena tak menguntungkan dengan menghadirkan ahli politik F yang menyebut pencitraan, dst. Masing-masing pernyataan komentar ahli tersebut diolah oleh pers bentuk cetak, dikutip oleh pers online, lalu dikutipan ini dikutip lagi oleh Lembaga pers online yang lain, dst. Pers online terkahir kebingungan karena semuanya telah dikutip, lalu menggunakan prinsip ATM (Amati Tiru dan Modifikasi) dengan sedikit bumbu kontraversial. Alhasilnya, pendapatn "google adsen"-nya melonjak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun